SISTEM EKONOMI ISLAM DAN KESEJAHTERAAN UMAT

SISTEM EKONOMI ISLAM DAN KESEJAHTERAAN UMAT

Pengertian Sistem Ekonomi Islam
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalamrukun iman dan rukun Islam.
Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105:
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”.
Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabada Rasulullah Muhammad saw:“Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi)

Tujuan Ekonomi Islam
Adapun tujuan Ekonomi Islam berpedoman pada: Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya).
Para ulama menyepakati bahwa masalah yang menjad puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:
• keselamatan keyakinan agama ( al din)
• kesalamatan jiwa (al nafs)
• keselamatan akal (al aql)
• keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
• keselamatan harta benda (al mal)

Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:

1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
6. Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.
Banyak pihak beranggapan mewujudkan cita-cita kesejahteraan masyarakat sebagai manusia yang saling bersaudara dan sama-sama diciptakan oleh satu Tuhan, saat ini, hanyalah sebuah impian. Hal itu terjadi karena adanya penolakan menggunakan mekanisme filter yang disediakan oleh penilaian berbasis moral, di samping makin melemahnya perasaan sosial yang diserukan agama.
Peningkatan moral dan solidaritas sosial tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya kesakralan moral yang diberikan oleh agama. Para ahli mengakui, bahwa agama-agama cenderung memperkuat rasa kewajiban sosial dalam diri pemeluknya daripada menghancurkan. Sepanjang sejarah umat manusia tidak ditemukan contoh signifikan yang menunjukkan, bahwa suatu masyarakat yang berhasil memelihara kehidupan moral tanpa bantuanagama.
Ajaran ekonomi yang dilandaskan nilai-nilai agama akan menjadikan tujuan kesejahteraan kehidupan yang meningkatkan jiwa dan ruhani manusia menuju kepada Tuhannya. Menurut Yusuf Qardhawi (1994), sesungguhnya manusia jika kebutuhan hidup pribadi dan keluarganya telah terpenuhi serta merta merasa aman terhadap diri dan rezekinya, maka mereka akan hidup dengan penuh ketenangan, beribadah dengan khusyu’ kepada Tuhannya yang telah memberi mereka makan, sehingga terbebas dari kelaparan dan memberi keamanan kepada mereka dari rasa takut. Dibutuhkan sebuah kesadaran, bahwa manusia diciptakan bukan untuk keperluan ekonomi, tetapi sebaliknya masalah ekonomi yang diciptakan untuk kepentingan manusia.
Islam, sebagai ajaran universal, sesungguhnya ingin mendirikan suatu pasar yang manusiawi, di mana orang yang besar mengasihi orang kecil, orang yang kuat membimbing yang lemah, orang yang bodoh belajar dari yang pintar, dan orang-orang bebas menegur orang yang nakal dan zalim sebagaimana nilai-nilai utama yang diberikan Allah kepada umat manusia berdasarkan Al Qur’an Surah al-Anbiyaa ayat 107. Berbeda dengan pasar yang Islami, menurut Qardhawi (1994), pasar yang berada di bawah naungan peradaban materialisme mencerminkan sebuah miniatur hutan rimba, di mana orang yang kuat memangsa yang lemah, orang yang besar menginjak-injak yang kecil. Orang yang bisa bertahan dan menang hanyalah orang yang paling kuat dan kejam, bukan orang yang paling baik dan ideal. Dengan demikian sulit membayangkan bahwa kesejahteraan akan dapat diperoleh dari sistem pasar dalam peradaban materialisme.
Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan harus ada suatu sistem pasar yang sehat. Pasar itu sebenarnya adalah sebuah mekanisme yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi, sehingga setiap pribadi memberikan sumbangannya bagi keseluruhan dan juga memenuhi kebutuhannnya sendiri dengan kebebasan penuh untuk melakukan pilihan pribadinya. Pasar yang sehat menggalakkan keragaman, prakarsa dan kreativitas pribadi, dan upaya-upaya yang produktif.
Pasar yang sehat sangat tergantung pada kesadaran para pesertanya, sehingga harus ada persyaratan agar masyarakat umum menjatuhkan sanksi terhadap orang yang tidak menghormati hak dan kebutuhan orang lain, serta mengekang secara sukarela dorongan pribadi mereka untuk melampaui batas. Apabila tidak ada suatu budaya etika dan aturan-aturan publik yang memadai, maka pasar gampang sekali dirusak. Pasar yang sehat, tidak berfungsi dengan paham individualisme ekstrem dan kerakusan kapitalisme yang semena-mena, dan juga tidak berfungsi lewat penindasan oleh hierarki dan yang tidak mementingkan diri sama sekali, seperti dalam komunisme. Kedua faham tersebut merupakan penyakit yang amat parah.
Kesejahteraan dalam pembangunan sosial ekonomi, tidak dapat didefinisikan hanya berdasarkan konsep materialis dan hedonis, tetapi juga memasukkan tujuan-tujuan kemanusiaan dan keruhanian. Tujuan-tujuan tersebut tidak hanya mencakup masalah kesejahteraan ekonomi, melainkan juga mencakup permasalahan persaudaraan manusia dan keadilan sosial-ekonomi, kesucian kehidupan, kehormatan individu, kehormatan harta, kedamaian jiwa dan kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat.
Ajaran Islam, sama sekali, tidak pernah melupakan unsur materi dalam kehidupan dunia. Materi penting bagi kemakmuran, kemajuan umat manusia, realisasi kehidupan yang baik bagi setiap manuisa, dan membantu manusia melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan.
Namun demikian, walaupun kehidupan ekonomi yang baik merupakan tujuan Islam yang dicita-citakan, bukan merupakan tujuan akhir. Kehidupan ekonomi yang baik, pada hakikatnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih jauh. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat esensial antara ajaran Islam dengan faham materialisme yang dianut oleh kaum Komunis ataupun para Sekuleristik.
Menurut Qardhawi, ideologi-ideologi materialisme bertumbuh kepada pemenuhan nafsu yang tidak terlepas dari ruang lingkup kepentingan ekonomi yang rendah. Kesenangan materi menjadi tujuan akhir dan merupakan surga yang dicita-citakan. Berbeda dengan ekonomi yang dilandasi moral agama, kesejahteraan kehidupan menjadikan tujuan untuk meningkatkan jiwa dan ruhani manusia menuju Tuhannya. Materi digunakan untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik dan lebih kekal.
Ajaran Islam mengakui kebebasan pemilikan. Hak milik pribadi menjadi landasan pembangunanekonomi, namun harus diperoleh dengan jalan yang telah ditentukan oleh Allah. Pemilikan harus melalui jalan halal yang telah disyariahkan. Demikian pula mengembangkan kepemilikan harus dengan cara-cara yang dihalalkan dan tidak dilarang oleh syariah. Islam melarang pemilik harta menggunakan kepemilikannya untuk membuat kerusakan di muka bumi atau melakukan sesuatu yang membahayakan manusia. Di samping itu dilarang pula mengembangkan kepemilikan dengan cara merusak nilai dan moral (akhlak), misalnya dengan menjual-belikan benda-benda yang diharamkan dan segala yang merusak kesehatan manusia baik akal, agama maupun akhlaknya. Dengan demikian, sebuah pasar yang sehat berlandaskan nilai-nilai moralitas keagamaan sangat diperlukan dalam sebuah sistem distribusi kepemilikan.

Sistem ekonomi Islam – sesuai dengan namanya – adalah suatu sistem ekonomi yang berdasarkan nilai-nilai Islam, dalam hal ini Al-Quran dan Al-Hadis sebagai sumber utamanya. Sistem ekonomi Islam bukanlah suatu sistem yang setengah-setengah. Artinya sistem ekonomi Islam tidak hanya menunjukkan bagaimana cara untuk melakukan kegiatan perekonomian agar menguntungkan pelaku ekonomi tersebut, tetapi juga prinsip-prinsip Islami yang melandasi setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan para pelaku ekonomi. Prinsip-prinsip relijius itu menjadi faktor yang amat penting karena berlandaskan ajaran dan prinsip Islam-lah sistem ekonomi Islam dibangun. Jadi Islam sebagai agama tidak hanya mengatur masalah tauhid, ibadah, dan akhlaq, tetapi juga muamalah atau implementasi ajaran Islam dalam setiap sendi-sendi kehidupan. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam, yang dibawa Nabi Muhammad SAW, sebagai rahmat kepada alam semesta ini dan tujuan umat muslim agar selamat dunia – akhirat.
Oleh karena itu, dalam mencari kemakmuran dan nafkah di dunia ini, melalui kegiatan ekonomi, umat Islam harus memperhatikan syariah yang telah digariskan Al-Quran dan Al-Hadis. Islam tidak mencegah orang untuk menjadi kaya berkat usahanya, namun perlu diingat dalam mencapai kekayaan tersebut haruslah sesuai dengan syariah Islam dan menimbun kekayaan serta menghambur-hamburkan uang bukanlah perbuatan yang Islami. Islam juga mengajarkan bahwa dalam setiap kekayaan umat Islam ada sebagian yang dimiliki umat Islam. Hal ini menjamin kepemilikan pribadi namun di sis lain juga menjamin terjadinya distribusi pendapatan yang merata. Hal ini yang tidak ditemukan dalam sistem ekonomi lain, baik kapitalis atau sosialis.
Secara umum dan ringkas, sistem ekonomi Islam dibangun atas prinsip-prinsip berikut:
1. Alam ini mutlak milik Allah SWT
“Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.”
(QS. Thoha: 6)
2. Alam merupakan nikmat karunia Allah yang diperuntukkan bagi manusia untuk dimanfaatkan
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS Luqman: 20)
3. Alam karunia Allah ini untuk dinikmati dan dimanfaatkan dengan tidak melampaui batas-batas ketentuan
“…pakailah pakaianmu yang indah di setiap majid, makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
4. Hak milik perseorangan diakui sebagai hasil jerih payah usaha yang halal dan hanya boleh dipergunakan untuk hal-hal yang halal pula.
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan darinya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya…” (QS Al-Baqarah: 267)
5. Allah melarang menimbun kekayaan tanpa ada manfaat bagi sesama manusia
“…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS At-Taubah: 34)
6. Di dalam hata orang kaya itu terdapat hak orang miskin, fakir, dan lain sebagainya
“Dan pada harta-harat mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS Adz-Dzariyat: 19)

Berangkat dari prinsip-prinsip Islam tersebut sistem ekonomi Islam di-rancang bangun. Bandingkanlah dengan sistem ekonomi kapitalis yang berprinsip berkorban sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Prinsip ekonomi demikian, dipergunakan oleh pedagang dan pengusaha yang mencari keuntungan, serta konsumen untuk mendapatkan sisa guna sebesar-besarnya melebihi biaya yang dikeluarkan dan kemampuannya. Prinsip ekonomi kapitalis pada akhirnya cenderung menyebabkan seseorang untuk berlaku rakus dan tamak terhdap pencarian keuntungan dan pemenuhan kebutuhan. Pada tataran seperti inilah sistem ekonomi kapitalis dibangun. Termasuk analisis keseimbangan pareto optimum.
Dalam analisis kesimbangan alokasi efisien individu atau perusahaaan akan efisien jika sudah memaksimalisasi utilitas (atau faktor produksi)-nya. Padahal menurut sistem ekonomi Islam manusia dituntut untuk tidak mengkonsumsi dan mengeksploitasi nikmat Allah dengan berlebihan. Jadi, penerapan analisis alokasi efisiensi pareto, yang dibangun dari funsi utilitas (indifference curve) dan production possibility curve function, akan menyebabkan kerusakan di muka bumi ini.



 

IBNU KHALDUN: BAPAK ILMU EKONOMI

Ibnu Khaldun : Bapak Ilmu Ekonomi
Ibnu Khaldun adalah raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja Bapak sosiologi tetapi juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya, ia lebih dari tiga abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut. Muhammad Hilmi Murad telah menulis sebuah karya ilmiah berjudul Abul Iqtishad : Ibnu Khaldun. Artinya Bapak Ekonomi : Ibnu Khaldun. Dalam tulisan tersebut Ibnu Khaldun dibuktikannya secara ilmiah sebagai penggagas pertama ilmu ekonomi secara empiris. Tulisan ini menurut Zainab Al-Khudairi, disampaikannya pada Simposium tentang Ibnu Khaldun di Mesir 1978.
Sebelum Ibnu Khaldun, kajian-kajian ekonomi di dunia Barat masih bersifat normatif, adakalanya dikaji dari perspektif hukum, moral dan adapula dari perspektif filsafat. Karya-karya tentang ekonomi oleh para imuwan Barat, seperti ilmuwan Yunani dan zaman Scholastic bercorak tidak ilmiah, karena pemikir zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian ekonomi dalam kajian moral dan hukum. Sedangkan Ibnu Khaldun mengkaji problem ekonomi masyarakat dan negara secara empiris. Ia menjelaskan fenomena ekonomi secara aktual. Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, menuliskan poin-poin penting dari materi kajian Ibnu Khaldun tentang ekonomi.
Pemikiran Ekonomi Ibn Khaldun:
1. Teori Produksi
Bagi Ibn Khaldun, produksi adalah aktivitas manusia yang diorganisasikan secara social dan internasional
a. Tabiat Manusiawi dari Produksi
Pada satu sisi manusia adalah binatang ekonomi. Tujuannya adalah produksi. Manusia dapat didefinisikan dari segi produksi: “manusia dibedakan dari makhluk hidup lainnya dari segi upaya[nya] mencari penghidupan dan perhatiannya pada berbagai jalan untuk mencapai dan memperoleh sarana-sarana [kehidupan].” (1:67)
Pada sisi lainnya, factor produksi yang utama adalah tenaga kerja manusia: “laba [produksi] adalah nilai utama yang dicapai dari tenaga manusia” (2:272)
“[manusia] mencapai [produksi] dengan tanpa upayanya sendiri, contohnya lewat perantara hujan yang menyuburkan ladang, dan hal-hal lainnya. Namun demikian, hal-hal ini hanyalah pendukung saja. Upaya manusia sendiri harus dikombinasikan dengan hal-hal tersebut.” (2:273)
“tenaga manusia sangat penting untuk setiap akumulasi laba dan modal. Jika [sumber produksi] adalah kerja, sedemikian rupa seperti misalnya [pekerjaan] kerajinan tangan, hal ini jelas. Jika sumber pendapatan adalah hewan, tanaman atau mineral, seperti kita lihat, tenaga manusia tetaplah penting. Tanpa tenaga manusia, tidak ada hasil yang akan dicapai, dan tidak akan ada [hasil] yang berguna.” (2:274)
Karena itu, manusia harus melakukan produksi guna mencukupi kebutuhan hidupnya, produksi berasal dari tenaga manusia.

b. Organisasi Sosial dari Produksi
Melakukan produksi juga penting bagi manusia. Jika manusia ingin hidup dan mencari nafkah, manusia harus makan. Dan dia harus memproduksi makanannya. Hanya tenaganya yang mengizinkannya untuk tetap dapat makan:
“semua berasal dari Allah. Namun tenaga manusia penting untuk...[penghidupan manusia].”(2:274)
Namun demikian, manusia tidak dapat sendirian memproduksi cukup makanan untuk hidupnya. Jika ia ingin bertahan, ia harus mengorganisasikan tenaganya. Melalui modal atau melalui keterampilan, operasi produksi yang paling sederhana mensyaratkan kerjasama dari banyak orang dan latar belakang tekhnis dari keseluruhan peradaban:
“tenaga manusia secara individu tidak cukup baginya untuk mendapatkan [makanan] yang ia perlukan, dan tidak memberikan makanan sebanyak yang ia perlukan untuk hidup.” (1:69)
Setiap makanan memerlukan sejumlah kegiatan dan setiap kegiatan memerlukan sejumlah peralatan dan keahlian. Organisasi social dari tenaga kerja ini harus dilakukan melalui spesialisasi yang lebih tinggi dari pekerja. Hanya melalui spesialisasi dan pengulangan operasi-operasi sederhanalah orang menjadi terampil dan dapat memproduksi barang dan jasa yang bermutu baik dengan kecepatan yang baik.
Selain itu, melalui spesialisasi dan kerjasama social , upaya manusia menjadi berlipat ganda. Produksi agregat yang dihasilkan oleh manusia yang bekerja secara bersama-sama adalah lebih besar dibandingkan dengan jumlah total produksi individu dari setiap orang yang bekerja sendiri-sendiri, dan lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan mereka untuk tetap bertahan hidup. Ada surplus yang tersisa yang dapat digunakan untuk diperdagangkan:
“apa yang dicapai melalui kerjasama dari sekelompok manusia dapat memuaskan kebutuhan kelompok berkali-kali lebih besar[daripada jumlah mereka].” (2:235)
“tenaga gabungan menghasilkan lebihbanyak daripada kebutuhan dan keperluan para pekerja.” (2:235)
“melalui kerjasama, kebutuhan sejumlah orang dapat dipuaskan berkali-kali lebih besar daripada [jumlah] mereka.”(1:69)
Oleh karena itu, Ibn Khaldun menganjurkan sebuah organisasi social dari produksi dalam bentuk suatu spesialisasi kerja. Hanya spesialisasi saja yang memberikan produktivitas yang tinggi; hal ini perlu untuk penghasilan dari suatu penghidupan yang layak. Hanya pembagian kerja yang memungkinkan terjadinya suatu surplus dan perdagangan antara para produsen.
c. Organisasi Internasional dan Produksi
Selain terdapat pembagian kerja di dalam negeri, terdapat pula pembagian kerja secara internasional. Pembagian kerja internasional ini tidak didasarkan kepada sumberdaya alam dari negeri-negeri tersebut, tetapi didasarkan pada keterampilan penduduknya, karena bagi Ibn Khaldun, tenaga kerja adalah factor produksi yang paling penting.
Karena itu, semakin banyak populasi yang aktif, semakin banyak produksinya. Sejumlah surplus barang dihasilkan dan dapat diekspor, dengan demikian meningkatkan kemakmuran kota tersebut. Pada pihak lain, semakin tinggi kemakmuran, semakin tinggi permintaan penduduk terhadap barang dan jasa. Kenaikan permintaan terhadap barang dan jasa ini menyebabkan naiknya harga-harga dan jasa tersebut, dan juga naiknya gaji yang dibayarkan kepada pekerja-pekerja terampil.
Dengan demikian, Ibn Khaldun menguraikan suatu teori yang menunjukkan interaksi antara permintaan dan penawaran. Permintaan menciptakan penawarannya sendiri yang pad gilirannya menciptakan permintaan yang bertambah. Selanjutnya ia berusaha memperlihatkan proses perkembangan yang kumulatif yang disebabkan oleh infrastruktur intelektual suatu Negara. Semakin berkembang suatu Negara, semakin banyak modal intelektualnya dan organisasi infrastruktur intelektualnya. Orang-orang yang terampil ditarik oleh infrastruktur ini dan datang untuk hidup dalam negeri itu, karena itu meningkatkan modal dan infrastruktur intelektualnya.
Bagi Ibn Khaldun, karena factor produksi yang paling utama adalah tenaga kerja dan hambatan satu-satunya bagi pembangunan adalah kurangnya persedian tenaga kerja yang terampil, proses kumulatif ini pada kenyataannya merupakan suatu teori ekonomi tentang pembangunan:
“keahlian memerlukan guru” (2:306)
“keahlian menjadi sempurna hanya bila tersedia peradaban menetap yang sempurna dan meluas.” (2:307)
“keahlian akan berakar dengan kuat dalam suatu kota [hanya] jika peradaban menetap sudah berakar dan dalam dan dalam jangka waktu yang lama.” (2:309)
“keahlian dapat menjadi lebih baik dan meningkat hanya jika banyak orang memintanya.” (2:311)
Dengan demikian, Ibn Khaldun menguraikan sebuah teori ekonomi tentang pembangunan yang berdasarkan atas interaksi permintaan dan penawaran, serta lebih jauh, tentang pemanfaatan dan pembentukan modal manusia. Landasan pemikiran dari teori ini adalah pembagian internasional dan social yang berakibat pada suatu proses kumulatif yang menjadikan negeri-negeri yang kaya semakin kaya dan menjadikan yang miskin lebih miskin lagi.
Teori Ibn Khaldun merupakan embrio suatu teori perdagangan internasional, dengan analisis tentang syarat-syarat pertukaran antara Negara-negara kaya dengan Negara-negara miskin, tentang kecenderungan untuk mengekspor dan mengimpor, tentang pengaruh struktur ekonomi terhadap perkembangan dan tentang pentingnya modal intelektual dalam proses pertumbuhan. Teori produksinya, yang berdasarkan tenaga kerja manusia mengantarkan Ibn Khaldun kepada teori tentang nilai, uang, dan harga.

1. Teori Nilai, Uang, dan Harga
Ibn Khaldun, dalam Muqaddimah-nya, menguraikan teori nilai, teori uang, dan teori harga.
a. Teori Nilai
Bagi Ibn Khaldun, nilai suatu produk sama dengan jumlah tenaga kerja yang dikandungnya:
“laba yang dihasilkan manusia adlah nilai yang terealisasi dari tenaga kerja.”(2:289)
Demikian pula kekayaan bangsa-bangsa tidak ditentukan oleh jumlah uang yang dimiliki bangsa tersebut, tetapi ditentukan oleh produksi barang dan jasanya dan oleh neraca pembayaran yang sehat. Neraca pembayaran yang sehat adalah konsekuensi alamiah dari tingkat produksi yang tinggi.
b. Teori Uang
Namun demikian, ukuran ekonomis terhadap nilai barang dan jasa perlu bagi manusia bila ia ingin memperdagangkannya. Pengukuran nilai ini harus memiliki sejumlah kualitas tertentu. Ukuran ini harus diterima oleh semua sebagai tender legal, dan penerbitannya harus bebas dari semua pengaruh subjektif.
Bagi Ibn Khaldun, dua logam yaitu emas dan perak, adalah ukuran nilai. Logam-logam ini diterima secara alamiah sebagai uang dimana nilainya tidak dipengaruhi oleh fluktuasi subjektif. Karena itu, Ibn Khaldun mendukung penggunaan emas dan perak sebagai standar moneter. Baginya, pembuatan logam hanyalah merupakan sebuah jaminan yang diberikan oleh penguasa bahwa sekeping uang logam mengandung sejumlah kandungan emas dan perak tertentu. Percetakannya adalah sebuah kantor religious, dan karenanya tidak tunduk kepada aturan-aturan temporal. Jumlah emas dan perak yang dikandung dalam sekeping koin tidak dapat diubah begit koin tersebut sudah mulai (diterbitkan):
“kantor percetakan mengurusi dan memerhatikan koin-koin yang digunakan oleh umat muslim dalam transaksi (komersil) dan menjaga agar tidak terjadi kemungkinan pemalsuan atau kualitas yang rendah (pemotongan) jika jumlah kepingannya [dan bukan berat logamnya] yang digunakan dalam transaksi.” (1:407)
“[kantornya] adalah kantor religious dan berad di bawah kekhalifahan.”(1:407)
Oleh karena itu, Ibn Khaldun mendukung standar logam dan harga emas dan perak yang konstan.
“semua barang-barang lainnya terkena fluktuasi pasar, kecuali emas dan perak.”(2:274)
Jadi, uang logam bukan hanya ukuran nilai tetapi dapat pula digunakan sebagai cadangan nilai.
c. Teori harga
Bagi Ibn Khaldun, harga adalah hasil dari hokum permintaan dan penawaran. Pengecualian satu-satunya dari hokum ini adalah harga emas dan perak, yang merupakan standar moneter. Semua barang-barang lainnya terkena fluktuasi harga yang tergantung pada pasar. Bila suatu barang langka dan banyak diminta, maka harganya tinggi. Jika suatu barang berlimpah, harganya rendah.
Karena itu Ibn Khaldun menguraikan suatu teori nilai yang berdasarkan tenaga kerja, sebuah teori tentang uang yang kuantitatif, dan sebuah teori tentang harga yang ditentukan oleh hokum permintaan dan penawaran. Teori tentang harga ini mengantarkannya untuk menganalisis fenomena distribusi.

2. Teori Distribusi
Harga sebuah produk terdiri dari tiga unsur yakni gaji, laba, dan pajak. Setiap kelompok dalam masyarakat: gaji adalah imbal jasa bagi produsen, laba adalah imbal jasa bagi pedagang, dan pajak adalah imbal jasa bagi penguasa. Karenanya, Ibn Khaldun membagi perekonomian kedalam tiga sector: produksi, pertukaran, dan layanan masyarakat.
a. Pendapat tentang penggajian elemen-elemen tersebut
Harga imbal jasa dari setiap unsure ini dengan sendirinya ditentukan oleh hokum permintaan dan penawaran.
1) Gaji
Karena nilai suatu produk adalah sama dengan jumlah tenaga kerja yang dikandungnya, gaji merupakan unsure utama dari harga-harga barang. Harga tenaga kerja adalah basis harga suatu barang. Namun harga tenaga kerja itu sendiri ditentukan oleh hokum permintaan dan penawaran:
“keahlian dan tenaga kerja pun mahal di kota-kota dengan peradaban yang melimpah. Ada tiga alas an untuk ini: pertama, karena besarnya kebutuhan yang ditimbulkan oleh meratanya hidup mewah dan tempat yang demikian, dan padatnya penduduk. Kedua, karena gampangnya orang mencari penghidupan, dan banyaknya bahan makanan di kota-kota menyebabkan tukang-tukang (buruh) kurang mau menerima bayaran rendah bagi pekerjaan dan pelayanannya. Ketiga, karena banyaknya orang kaya yang memiliki banyak uang untuk dihamburkan, dan orang seperti ini banyak kebutuhannya sehingga mereka memerlukan pelayanan orang lain, yang berakibat timbulya persaingan dalam mendapatkan jasa pelayanan, sehingga mereka bersedia membayar lebih dari nilai pekerjaannya.”(2:241)
2) Laba
Laba adalah selisih dari harga jual dengan harga beli yang diperoleh oleh pedagang. Namun selisih ini bergantung pada hokum permintaan dan penawaran, yang menentukan harga beli melalui gaji dan menentukan harga jual melalui pasar:
“perdagangan pada hakikatnya adalah usaha untuk mencetak laba dengan menaikkan modal dengan cara membeli barangpada harga rendah dan menjualnya pada harga tinggi.”(2:297)
Ibn Khaldun mendefinisikan dua fungsi utama dari perdagangan yang merupakan terjemahan waktu dan tempat dari suatu produk:
“usaha untuk mencetak laba sedemikian dapat dilakukan dengan menyimpan barang dan menahannya hingga pasar sudah berfluktuasi dari harga yang rendah menuju harga yang tinggi... atau sang pedagang dapat memindahkan barangnya ke negeri yang lain dimana permintaan di tempat itu lebih banyak daripada di kota asalnya.”(2:297)
Bagi Ibn Khaldun, hakikat perdagangan adalah:
“membeli dengan harga murah dan menjualnya dengan harga mahal.”(2:297)
3) Pajak
Pajak bervariasi menurut kekayaan penguasa dan penduduknya. Karenanya, jumlah pajak ditentukan oleh permintaan dan penawaran terhadap produk, yang pada gilirannya menentukan pendapatan penduduk dan kesiapannya untuk membayar.

b. Eksistensi Distribusi Optimum
Dengan demikian, besarnya ketiga jenis pendapatan ini ditentukan oleh hokum permintaan dan penawaran. Menurut Ibn Khaldun, pendapatan ini memiliki nilai optimum.
1) Gaji
Bila gaji terlalu rendah, pasar akan lesu dan produksi tidak mengalami peningkatan: “hanya sedikit bisnis yang berjalan [dan] harga-harga...menjadi sangat rendah.”(2:241)
Jika gaji terlalu tinggi, akan terjadi tekanan inflasi dan produsen kehilangan minat untuk kerja: “pekerja, pengrajin, dan para professional menjadi sombong.”(2:241)
2) Laba
Jika laba sangat rendah, pedagang terpaksa melikuidasi saham-sahamnya dan tidak dapat memperbaharuinya karena tidak ada modal:
“jika harga-harga dari jenis barang manapun...tetap rendah...pedagang kehilangan modalnya.”(2:301)
Jika laba terlalu tinggi, para pedagang akan melikuidasi saham-sahamnya pula dan tidak dapat memperbaharuinya karena tekanan inflasi:
“harga yang sama [hancurnya penghidupan para pedagang] berlaku bila harga terlalu tinggi...yang memberikan laba dan penghidupan bagi orang-orang adalah harga yang pertengahan dan fluktuasi pasar yang cepat.”(2:302)
3) Pajak
Jika pajak terlalu rendah, pemerintah tidak dapat menjalani fungsinya:
“pemilik harta dan kekayaan yang berlimpah dalam peradaban tertentu memerlukan kekuasaan protektif untuk membelanya” (2:250)
Jika pajak terlalu tinggi, tekanan fiscal menjadi terlalu kuat, sehingga laba para pedagang dan produsen menurun dan hilanglah insentif mereka untuk bekerja:
“[jika] pajak terlalu memberatkan dan laba yang diharapkan tidak terjadi...maka insentif bagi aktivitas cultural akan hilang.”(2:81)
Oleh karena itu, Ibn Khaldun membagi pendapatan nasional menjadi tiga kategori ini memiliki tingkat optimum. Namun demikian, tingkat optimum ini tidak dapat terjadi dalam jangka panjang, dan siklus aktivitas ekonomi harus terjadi.

3. Teori Siklus
Bagi Ibn Khaldun, produksi tergantug kepada penawaran dan permintaan terhadap produk. Namun penawaran sendiri tergantung kepada jumlah produsen dan hasratnya untuk bekerja, demikian juga permintaan tergantung kepada jumlah pembeli dan hasrat mereka untuk membeli. Produsen adalah populasi aktif. Hasrat untuk memproduksi adalah hasil dari motif-motif psikologis dan financial yang ditentukan oleh permintaan yang tinggidan distribusi yang menguntungkan produsen, dan pedagang, dan karenanya pajak yang rendah dan laba serta gaji yang tinggi. Pembeli adalah penduduk dan Negara. Daya beli ditentukan oleh pendapatan yang tinggi, yang berarti tingkat persediaan yang tinggi dan bagi Negara, jumlah pajak yang besar.
Karenanya, variable penentu bagi produksi adalah populasi serta pendapatan dan belanja Negara, keuangan public. Namun menurut Ibn Khaldun populasi dan keuangan public harus menaati hukum yang tidak dapat ditawar-tawar dan selalu berfluktuasi.
a. Siklus Populasi
Produksi ditentukan oleh populasi. Semakin banyak populasi, semakin banyak produksinya. Demikian pula, semakin besar populasi semakin besar permintaanya terhadap pasar dan semakin besar produksinya.
Namun,populasi sendiri ditentukan oleh produksi. Semakin besar produksi, semakin banyak permintaan terhadap tenaga kerja di pasar. Hal ini menyebabkan semakin tinggi gajinya, semakin banyak pekerja yang berminat untuk masuk ke lapangan tersebut, dan semakin besar kenaikan populasinya. Akibatnya, terdapat suatu proses kumulatif dari pertumbuhan populasi dan produksi, pertumbuhan ekonomi menentukan pertumbuhan populasi dan sebaliknya.
Jadi terdapat siklus populasi di kota-kota. Populasi mengalami pertumbuhan dan dalam pertumbuhannya, mengakibatkan peningkatan permintaan dan produksi yang pada gilirannya membawa imigran baru. Namun, pertumbuhan ini terlalu besar dibandingkan kemungkinan daya dukung geografis dan produksi agrikultur kota tersebut, dan populasi akan menurun secara alamiah. Siklus populasi ini menentukan siklus ekonomi, karena populasi adalah factor produksi yang utama.

b. Siklus Keuangan Publik
Negara juga merupakn factor produksi yang penting. Dengan pengeluarannya, Negara meningkatkan produksi, dan dengan pajaknya Negara membuat produksi menjadi lesu.
1) Pengeluaran pemerintah
Bagi Ibn Khaldun, sisi pengeluaran keuangan public sangatlah penting. Pada satu sisi, sebagian dari pengeluaran ini penting bagi aktivitas ekonomi. Tanpa infrastruktur yang disiapkan oleh Negara, mustahil terjadi populasi yang besar. Tanpa ketertiban dan kestabilan politik, produsen tidak memiliki insentif untuk berproduksi. Mereka takut kehilangan tabungannya dan labanya karena kekacauan dan perang:
“royal authority calls for urban settlements.” (2:201)
Di sisi lain, pemerintah menjalankan fungsi terhadap sisi permintaan pasar. Dengan permintaannya, pemerintah memicu produksi. Jika pemerintah menghentikan belanjanya, krisit akan terjadi. Oleh karenanya, semakin banyak yang dibelanjakan oleh pemerintah, semakin baik akibatnya bagi perekonomian.
2) Perpajakan
Namun demikian pemerintah tidak dapat menciptakan uang. uang diterbitkan oleh suatu kantor religious menggunakan standar logam. Akibatnya, bila kantor ini menarik uang dari perekonomian, aktivitas ekonomi akan melesu. Uang berasal dari perekonomian dan harus kembali ke perekonomian.
“uang beredar diantara penduduk dan penguasa, beredar pulang dan pergi. Jadi jika penguasa menyimpannya untuk dirinya sendiri, penduduk tidak akan menikmatinya.”(2:93)
Uang yang dibelanjakan oleh pemerintah berasal dari penduduk melalui pajak. Pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya hanya jika pemerintah menaikkan pajaknya, tetapi tekanan fiscal yang terlalu tinggi akan melemahkan semangat kerja orang. Akibatnya, timbul siklus fiscal. Pemerintah memungut pajak yang kecil dan penduduk memiliki laba yang besar. Mereka tersemangati untuk bekerja. Namun kebutuhan pemerintah serta tekanan fiscal naik. Laba produsen dan pedagang turun, dan mereka kehilangan hasrat untuk berproduksi, produksi turun. Tetapi pemerintah tidak dapat menurunkan pengeluaran dan pajaknya. Akibatnya, tekanan fiscal naik. Akhirnya pemerintah harus menasionalisasi perusahaan-perusahaan, karena produsen tidak memiliki insentif laba untuk menjalankannya. Kemudian karena sumber daya finansialnya, pemerintah menjadi dominan di pasar dan mematikan produsen-produsen lainnya yang tidak dapat bersaing dengannya. Laba turun, pendapatan pajak turun, dan pemerintah menjadi lebih miskin dan harus menasionalisasi lebih banyak perusahaan. Orang-orang produktif meninggalkan negeri, dan peradaban runtuh.
“harus diketahui bahwa pada permulaan dinasti, pajak menghasilkan pendapatan yang besar dari pembebanan yang kecil. Pada akhir dinasti, pajak menghasilkan pendapatan yang kecil dari pembebanan yang besar. [pada awalnya] pendapatan pajak rendah, penduduk memiliki tenaga dan hasrat untuk bekerja. Perusahaan cultural berkembang dan naik, karena pajak yang rendah menghasilkankepuasan. Bila perusahaan cultural berkembang, jumlah iuran individual dan pembebanan pajak naik. Akibatnya, pendapatan pajak naik.
Bila dinasti tersebut tetap berkuasa..., [ia menjadi] maju... setiap iuran dan beban individu naik secara besar-besaran, untuk mencapai pajak yang lebih tinggi... sehubungan dengan berangsur-angsurnya peningkatan pajak barang mewah dan begitu banyaknya kebutuhan-kebutuhan dinasti tersebut...
Pembebanan iuran meningkat melampaui batas kewajaran. Akibatnya, minat penduduk dalam perusahaan-perusahaan cultural menjadi hilang, karena bila mereka membandingkan pengeluaran dan pajaknya dengan penghasilan dan pendapatan mereka, dan melihat kecilnya laba yang dihasilkan, mereka kehilanga harapan. Karenanya banyak diantara mereka mengundurkan diri dari semua aktivitas cultural. Hasilnya, total pendapatan pajak turun, karena beban individual turun... akhirnya, peradaban hancur, karena insentif aktivitas cultural hilang.”(2:80,81)
Jadi, bagi Ibn Khaldun, terdapat optimum fiscal tapi juga mekanisme yang tidak dapat dibalik, yang memaksa pemerintah untuk membelanjakan lebih banyak dan memungut lebih banyak pajak yang menimbulkan siklus produksi. Denga demikian, Ibn Khaldun menguraikan sebuah teori dinamik yang berdasarkan hokum populasi dan hokum keuangan public. Menurut hokum yang tidak bisa ditaawar-tawar lagi, suatu negeri tidak dapat tidak, harus melalui siklus-siklus perkembangan ekonomi dan depresi.
 

ADAM SMITH DAN INVISIBLE HAND

ADAM SMITH DAN INVISIBLE HA
Beberapa pemikiran ekonomi Islam yang disadur ilmuwan Barat antara lain, teori invisible hands yang berasal dari Nabi Saw dan sangat populer di kalangan ulama. Teori ini berasal dari hadits Nabi Saw. sebagaimana disampaikan oleh Anas RA, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah. Dalam hadits tersebut diriwayatkan sebagai berikut :
غلا السعر فسعر لنا رسول الله صلى الله عليه و سلم :
ان الله هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر وانى أرجوا أن ألقى ربى وليس أحد منكم يطلبنى بمظلمة ظلمتها اياه بدم ولا مال (رواه الدارمى)
“Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu mengajukan saran kepada Rasulullah dengan berkata: “ya Rasulullah hendaklah engkau menetukan harga”. Rasulullah SAW. berkata:”Sesungguhnya Allah-lah yang menetukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku harapkan bahwa kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun harta.”
Dengan hadits ini terlihat dengan jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 1160 tahun) mengajarkan konsep invisible hand atau mekanisme pasar dari pada Adam Smith. Inilah yang mendasasari teori ekonomi Islam mengenai harga. Rasulullah SAW dalam hadits tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah impersonal.
Rasulullah menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga di pasar tidak boleh ditetapkan, karena Allah-lah yang menentukannya.Sungguh menakjubkan, teori Nabi tentang harga dan pasar. Kekaguman ini dikarenakan, ucapan Nabi Saw itu mengandung pengertian bahwa harga pasar itu sesuai dengan kehendak Allah yang sunnatullah atau hukum supply and demand.
Teori invisible hands yang dikemukakan oleh Adam Smith diduga keras berasal dari teori Islam. Menurut teori ini, pasar akan diatur oleh tangan-tangan tidak kelihatan (invisible hands). Harga barang tidak boleh ditetapkan oleh pemerintah, karena ia tergantung pada hukum supply and demand.
Maka sekali lagi ditegaskan kembali bahwa teori inilah yang diadopsi oleh Bapak Ekonomi Barat, Adam Smith dengan nama teori invisible hands. Menurut teori ini, pasar akan diatur oleh tangan-tangan tidak kelihatan (invisible hands). Bukankah teori invisible hands itu lebih tepat dikatakan God Hands (tangan-tangan Allah).
Namun demikian, ekonomi Islam masih memberikan peluang pada kondisi tertentu untuk melakukan intervensi harga (price intervention) bila para pedagang melakukan monopoli dan kecurangan yang menekan dan merugikan konsumen. Menurut Ibnu taymiyah, penetapan harga diperlukan untuk mencegah pedagang menjual makanan atau barang dengan harga sesuka hati dan hanya menjual kepada kelompok tertentu saja.
Indikasi kuat peniruan teori invisible hands itu terlihat dari uraian-uraian Adam Smith. Dalam buku monumentalnya The wealth of Nation, ia mengutip buku Dr. Pocock yang menceritakan bagaimana para pedagang muslim ketika mereka memasuki suatu kota untuk berdagang. Mereka mengundang makan orang-orang yang lewat, termasuk orang miskin untuk makan bersama. Menurut Dr. Pocock, mereka makan bersama dan bersila, serta memulai makan dengan ucapan bismillah dan mengakhirinya dengan alhamdulillah. Dengan kemurahan hati dan kehangatan seperti ini, para pengusaha muslim mendapatkan relasi dan mengundang simpatik para konsumen, sehingga kepentingan bisnis mereka tercapai.
Dalam buku The Wealth of Nation Adam Smith membahas tingkat perekonomian masyarakat. Ia membedakan tingkat perekonomian masyarakat kepada dua kategori, pertama bangsa dengan ekonomi terbelakang dan kedua, bangsa yang ekonominya maju. Masyarakat yang ekonominya terbelakang ditandai dengan mata pencariannya yang tradisional, seperti pemburu. Sedangkan masyarakat ekonomi maju, mata pencariannya adalah berdagang. Contoh masyarakat ekonomi terbelakang adalah masyarakat Indian di Amerika Utara. Sedangkan contoh masyarakat ekonomi maju adalah bangsa Arab.
Bangsa Arab yang dimaksudkan Adam Smith tentunya adalah bangsa pedagang di zaman Rasulullah. Karena dalam penjelasan selanjutnya ia mengatakan bahwa bangsa yang dipimpin oleh Muhammad dan para generasi sesudahnya.
Dari paparan Adam Smith terlihat jelas bahwa ia mengakui keunggulan dan kehebatan ekonomi muslim pada masa lampau. Karena itu kemungkinan besar secara tak langsung ia telah mengadopsi teori-teori ekonomi Islam.
Indikasinya menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi Islam zaman pertengahan, sangat terasa di Inggris, tanah kelahiran Adam Smith, bahkan jauh sebelum ia lahir. Pada tahun 774 M, Raja Offa yang di Inggeris ketika itu mencetak koin emas yang merupakan copy langsung (direct copy) dari dinar Islam, termasuk tulisan Arabnya. Semua tulisan di coin (uang logam) itu adalah tulisan Arab, kecuali pada satu sisinya tertulis OFFAREX.
Realitas itu menunjukkan bahwa dinar Islam saat itu merupakan mata uang terkuat di dunia. Selain itu perekonomian umat Islam jauh lebih maju dari Eropa. Hal itu menunjukkan bahwa perdagangan internasional muslim telah menjangkau sampai Eropa Utara.
Pada tahun 1764, Adam Smith melepaskan jabatan guru besar di Glasgow Inggris dan memilih karir barunya sebagai penasehat ekonomi Duke of Buccleuch. Pada periode inilah Smith banyak melakukan perjalanan keluar negeri, terutama ke Perancis. Di sini ia banyak bertemu dengan para filosof terkenal. Smith mulai menulis buku The Wealth of Nations ketika beliau berada di Perancis dan menyelesaikannya tahun 1766, di Kirdcaldy. Dan sepuluh tahun kemudian baru diterbitkan, yakni tahun 1776. Pada masa itu di Eropa telah beredar buku-buku terjemahan karya ekonom muslim. Bahkan, di Perancis Selatan banyak guru besar dengan menerapkan pola pengajaran yang mereka dapatkan dari negeri-negeri muslim.
Paparan di atas menunjukkan peran ilmuwan muslim sangat signifikan terhadap kebangkitan intelektualisme Eropa, termasuk dalam pemikiran ekonomi. Demikian sekelumit uraian tentang kontribusi pemikiran ekonomi Islam terhadap ekonomi modern. Bahkan Bapak ekonomi Barat, Adam Smith (1776) dengan bukunya The Wealth of Nation diduga keras banyak mendapat inspirasi dari buku Al-Amwalnya Abu ‘Ubaid (838). Judul buku Adam Smith saja persis sama dengan judul buku Abu ‘Ubaid yang berjudul Al-Amwal. Hiwalah yang dipraktekkan sejak zaman Nabi, baru dikenal oleh praktisi perbankan konvensional tahun 1980-an dengan nama anjak piutang.
Menurut Dr Sami Hamond, seorang ahli perbankkan dari Yordan, cek pertama ditarik di dunia ini bukan oleh tukang besi Inggris tahun 1675 di London sebagaimana disebutkan dalam textbook Barat, tetapi dilakukan oleh Saifudawlah Al-Hamdani, putra mahkota Aleppo yang berkunjung ke Bagdad pada abad X Masehi. Penukaran mata uang mengakui keabsahan cek yang dikeluarkan putera mahkota karena ia mengenal tanda tangannya. Dalam Encyclopedia of Literates, menurut Hamond, juga diceritakan seorang penyair bernama Jahtha menerima selembar cek yang ia gagal menguangkannya. Ini terjadi juga pada abad ke 10 Masehi. Sejarah itu menunjukkan bahwa pada abad ke 10 yang lalu cek sudah dikenal dalam ekonomi Islam. Seorang pengelana Persia Naser Kashro yang pergi ke kota Bashrah pada abad ke 10 M menceritakan, bahwa uang yang dibawanya diserahkan pada penukar mata uang dan ia menerima kertas berharga, semacam traveller cheques yang dipakai dalam berbelanja
Selain contoh di atas masih banyak lagi konsep ekonomi Islam yang ditiru Barat. Beberapa institusi dan model ekonomi yang ditiru oleh Barat dari dunia Islam adalah syirkah (lost profit sharing), suftaja (bills of excahange), hiwalah (Letters of Credit), funduq (specialized large scale commercial institutions and markets which developed into virtual stock exchange), yakni lembaga bisnis khusus yang memiliki skala yang besar yang dikembangkan dalam pasar modal.
Funduq untuk biji-bijian pertanian dan tekstil ditiru dari Baghdad, Cordova dan Damaskus. Demikian juga darut tiraz (pabrik yang dibangun oleh negara untuk usaha eksploitasi tambang besi dan perdagangan besi) di Spanyol Menurut penjelasan Labib, insitusi yang mirip dengan darut tiraz adalah institusi ma’una, (sejenis bank privasi yang dibangun di dunia Islam ditemukan di di Eropa Tengah dengan nama Maona. Insitusi ini digunakan di Tuscani yang berfungsi sebagai sebuah perusahaan umum yang mengembangkan dan menggali tambang besi serta melakukan perdagangan besi tersebut dalam skala yang amat luas. Selanjutnya wilayatul hisbah, yakni polisi ekonomi (pengawas ekonomi perdagangan) yang sudah ada sejak masa Rasul Saw, juga ditiru oleh Barat.

 

KEGAGALAN EKONOMI KONVENSIONAL

Kegagalan ekonomi kapitalis tak bisa lagi ditutup-tutupi, sistem ekonomi kapitalis ini memang telah berhasil menciptakan masyarakat modern seperti saat ini, sayangnya jumlah manusia yang mampu diangkatnya hanya sebagian kecil masyarakat bukan seluruhnya. Sebanyak 40% dari penduduk sampai saat ini masih berada dalam keadaan berpendapatan kurang dari 2 USD AS per hari. Maka itu millennium development ghost (mdg) PBB mencoba mengatasinya dengan target pengurangan angka kemiskinan 50% dalam tempo 15 tahun. Target itu belum tercapai bahkan pada tahun ini justru dunia menambah jumlah kemiskinan hampir 100 juta.
Konsep ekonomi yang mendominasi kita saat ini memang di desain oleh kapitalis atau mereka yang memiliki modal, memiliki uang, atau memiliki kekayaan untuk kepentingan mereka dalam konsep ini manusia adalah faktor produksi atau objek bukan subjek pembangunan ekonomi. Manusia pemilik modal adalah inisiator pelaku dan penerima hasil pembangunan ekonomi meminjam istilah demokrasi yang terjadi dalam sistem ekonomi kapitalis adalah dari oleh dan untuk kapitalis.
Model formula dan hasil dari aktivitas ekonomi termasuk kinerja entitas ekonomi yang dibangun oleh dunia ilmu pengetahuan saat ini di desain untuk kepentingan si pemodal tadi. Sehingga aspek yang waktu itu tidak terpikirkannya saat ini menjadi masalah yang tidak kalah besarnya dengan masalah yang sudah berhasil diatasinya itu.
Mengapa ada yang gagal? Inilah bukti kelemahan manusia yang sangat terbatas karena tuhan memberikan ilmu sedikit namun kita merasa serba tahu sehingga kebenaran hakiki dibatasi hanya pada wilayah empiris, rasional, serta pengalaman yang dirasakan dan yang masuk akal. Ternyata itu keliru. Kita lupa bahwa dunia ini mengandung bahkan sarat dengan beberapa keberadaan yang sifatnya ghaib dan belum dapat dipecahkan oleh manusia. Konsep ekonomi, konsep moneter konsep keuangan, konsep bisnis, konsep manajemen dan konsep akuntansi ternyata mengandung kesalahan dan kelemahan. Akibatnya kita masuk kedalam perangkap keyakinan kita sendiri yang merasa benar sehingga menghasilkan situasi instabiltas. Debacle, krisis, turbulen ekonomi dan keuangan serta keuangan sistem ekonomi yang kita alami saat ini secara berulang-ulang dengan intensitas krisis yang semakin kompleks.
Kesalahan ini memang banyak dimaklumi karena konsep kapitalisme merupakan pemikiran dengan ideology sekuler yang tidak menempatkan perintah tuhan sebagai suatu kebenaran. Kapitalis menempatkannya sebagai kebenaran dogmatis yang jelas kesalahannya. Sikap menilai hal dari agama dogmatis bermula dan berakar dari sikap gereja pada abad ke-15 yang menempatkan dirinya sebagai penerjemah kebenaran tunggal dari wahyu tuhan tanpa pemanfaatan kebebasan rasio manusia yang juga bisa mencapai kebenaran.
Konsep Ekonomi Islam dalam beberapa aspek disebabkan karena sistem ekonomi yang tengah berjalan tidak menunjukkan realisasi janjinya. Kemiskinan tetap tak terentaskan, alih-alih dapat dientaskan justru menunjukkan kesenjangan yang luar biasa. “Kemiskinan di tengah-tengah manusia kaya yang tak berbahagia tidak lain adalah symptom dari sebuah kerusakan yang mendalam”, ujar Tibor Scitovsky dikutip oleh Umer Chapra dalam The Islamic Foundation and The international Institute of Islamic Thought (1995).

Kerusakan itu ada pada sistem perekonomian dunia yang dibangun berdasar kapitalisme. Chapra kemudian mengajukan sejumlah ciri kapitalisme:
1) Kapitalisme menganggap bahwa hal utama dalam peningkatan kesejahteraan manusia ditentukan oleh (a) ekspansi kekayaan yang dipercepat, (b) produksi yang maksimal,. (c) pemenuhan keinginan (want) menurut pereferensi individual.
2) Kebebasan individual (yang tak terhambat) dalam mengaktualisasikan kepentingan diri dan kepemilikan atas kekayaan menjadi syarat bagi munculnya inisiatif pelaku ekonomi
3) Syarat mewujudkan efisiensi optimum dalam alokasi sumber daya adalah Inisiatif individu yang bebas dan Pembuatan keputusan yang tersebar dalam suatu pasar
4) Peran Pemerintah atau penilaian kolektif tidak diperlukan dalam efisiensi alokasi sumber dana dan pemerataan distributive
5) Melayani kepentingan diri sendiri (Self interest) oleh setiap individu secara otomatis dapat melayani kepentingan sosial kolektif. (Chapra, 1995: 18)

KONSEP-KONSEP EKONOMI KONVENSIONAL YANG GAGAL
1. Manusia Ekonomi Rasional
Salah satu faktor yang meyebabkan kehancuran kapitalisme adalah greediness (ketamakan) dari orang – orang kaya. Sebagai contoh, jika anda punya uang 1 milyar. Karena dalam sistem ekonomi kapitalis terdapat bunga, maka apa yang akan anda pilih? Pertama buka warung atau yang kedua disimpan saja di bank, karena pada saat jatuh tempo akan medapat bunga. Anda tidak perlu bekerja, mengeluarkan keringat dan anda dapat uang. Jika semua orang berpikir rasional, maka orang-orang yang punya 1 milyar akan meletakkan uangnya di bank. Maka siapa yang akan memproduksi barang? Akhirnya barang menjadi sedikit, dan ketika barang menjadi langka, harga akan meningkat. Jika harga tinggi maka yang dapat membeli hanya orang-orang yang memiliki kekayaan lebih.
Rasionalisme modern telah menghilangkan sebab final dan hanya bertumpu pada kausa efisien, material dan formal saja. Kertas yang kering (causa material 1) dan api panas yang mencukupi (kausa material 2) ketika berdekatan dan tak ada factor yang menghalanginya (kausa formal) akan membuat kertas itu terbakar; maka dekatkan (kausa efisien) saja api pada kertas niscaya kertas akan terbakar. Inilah rasional, jika begini maka begitu secara otomatis, sebagaimana jika ada aksi maka ada reaksi secara otomatis.
Ini juga yang mendasari teori manusia ekonomi rasional. Jika manusia mengupayakan kepentingan dirinya sendiri maka proses ekonomi akan berjalan dengan sendrinya. Tak ada tanggungjawab sosial, karena sosial merupakan efek dari pemenuhan kepentingan diri. Adam Smith menyatakan bahwa “jika setiap individu dibiarkan memperturutkan kepentingan dirinya maka “tangan-tangan gaib” (invisible hand) kekuatan-kekuatan pasar melalui atura proses kompetisi akan mendorong kepentingan masyrarakat sehingga menimbulkan keharmonisan antara kepentingan individu dan umum. Satu-satunya tanggung jawab sosial, menurut Friedmen, adalah bagaimana meningkatkan keuntungan pribadinya.

2. Positivisme
Posotivisme adalah suatu filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktualfisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode scientific yang ketat yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.
Pandangan positivism berarti hanya yang positiflah yang benar. Untuk mencapai yang positif, maka nilai etika tertentu atau penilaian normative ditiadakan. Nilai agama, nilai kemanusiaanpun menjadi tidak boleh ada dalam kegiatan ilmiah, yang boleh ada hanya operasi ilmiah saja. Misalnya teori Optimalitas Pareto yang menegaskan bahwa efisiensi adalah banyaknya orang yang mendapatkan keuntungan, walaupun ada sedikit orang yang tidak mendapatkan keuntungan. Sedikit orang yang tidak dapat menikmati itu dianggap anomaly, dan karenanya tidak usah dipikirkan.
Dalam mempelajari ilmu ekonomi, perlu kita pahami arti dan perbedaan dari pernyataan positif dan pernyataan normatif. Pernyataan positif (positive statements) bersifat deskriptif. Pernyataan positif berbicara mengenai bagaimana dunia yang sebenarnya. Lebih lanjut pernyataan positif merupakan pernyataan yang mengandung arti : apakah yang terjadi (wujud) atau telah wujud atau akan wujud? Pada hakikatnya pernyataan positif adalah pernyataan mengenai fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat dan oleh sebab itulah kebenarannya dapat dibuktikan dengan memperhatikan kenyataan yang berlaku. Contohnya, “Jika hasil panen padi tahun sekarang turun maka harganya akan naik.”
Jenis yang kedua, seperti pernyataan Norma, bersifat normatif. Pernyataan normatif (normative statements) bersifat memberikan petunjuk. Pernyataan normatif berbicara mengenai bagaimana dunia yang seharusnya. Lebih lanjut pernyataan normatif merupakan pernyataan yang mengandung arti : apakah yang sebaiknya harus terjadi (wujud) ? Jadi pernyataan normatif adalah suatu pandangan subjektif atau suatu value judgement. Pernyataan normatif adakalanya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat tidak rasional seperti faktor kebudayaan, filsafat dan keagamaan. Karena sifatnya tersebut, kebenaran pernyataan normatif tidak dapat dibuktikan dengan melihat kenyataan. Contohnya, “Pemerintah seharusnya menaikkan upah minimum.”
Untuk memperjelas coba perhatikan kembali contoh berikut ini terkait dengan pernyataan positif dan normatif :
- Agus : Undang-undang upah minimum menyebabkan pengangguran
- Budi : Pemerintah seharusnya menaikkan upah minimum
Perbedaan utama antara pernyataan positif dan normatif adalah bagaimana kita menilai keabsahannya. Secara prinsip, kita dapat menegaskan atau menyangkal suatu pernyataan dengan memeriksa bukti-bukti. Seorang ekonom dapat mengevaluasi pernyataan Agus dengan menganalisis data tentang perubahan upah minimum dan perubahan tingkat pengangguran sepanjang waktu. Sebaliknya, mengevaluasi pernyataan normatif melibatkan nilai-nilai dan fakta-fakta. Pernyataan norma tidak bisa dinilai dengan menggunakan data saja. Memutuskan kebijakan yang baik atau yang buruk bukanlah masalah sains belaka. Hal ini melibatkan pandangan-pandangan kita mengenai etika, agama, dan filsafat.
Hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa pernyataan positif dan normatif dapat saling terkait. Pandangan-pandangan positif kita mengenai bagaimana dunia bekerja mempengaruhi pandangan-pandangan normatif kita mengenai kebijakan-kebijakan yang diharapkan. Kesimpulan normatif tidak bisa muncul dari analisis positif saja; kesimpulan normatif juga melibatkan pertimbangan-pertimbangan nilai.
Ketika Anda mempelajari ekonomi, ingatlah perbedaan antara pernyataan positif dan normatif. Sebagian besar ilmu ekonomi hanya mencoba menjelaskan bagaimana perekonomian bekerja. Tapi, sering kali tujuan ilmu ekonomi adalah memperbaiki cara kerja perekonomian. Ketika mendengar para ekonom membuat pernyataan normatif, Anda mengetahui bahwa mereka telah menyeberang dari tugasnya sebagai ilmuan menjadi penasihat kebijakan. Kesimpulannya pernyataan positif dijumpai dalam ilmu ekonomi deskriptif dan teori ekonomi. Sedangkan pernyataan normatif selalu dijumpai dalam ilmu ekonomi terapan atau ilmu ekonomi kebijakan.
Kesimpulan selanjutnya, kita peroleh definisi ilmu ekonomi positif (positive economics) yaitu membahas atau mempelajari tentang apa atau bagaimana masalah-masalah ekonomi yang dihadapi suatu masyarakat sebenarnya diselesaikan. Sebaliknya, ilmu ekonomi normatif (normative economics) adalah berkaitan dengan atau mempelajari tentang apa yang seharusnya atau bagaimana masalah-masalah ekonomi yang dihadapi suatu masyarakat seharusnya diselesaikan.

3. Hukum Say
Hukum Say sering dikutip sebagai “ Penawaran menciptakan permintaannya sendiri”, sebuah frase yang membuat banyak mahasiswa ekonomi yang terpengaruh oleh pemikiran Keynes memandangnya bersifat paradox dan kontra-intuitif “ Apakah bukan sebaliknya?” Tanya mereka “ bukankah permintaanlah yang menciptakan penawaran?”
Sebenarnya bukan Say sendiri, tetapi John Maynard Keynes-lah yang mendefinisikan hukum Say sebagai “ Penawaran yang menciptakan permintaannya sendiri” dalam The General Theory (1973:18). Dewasa ini banyak ekonom setuju bahwa Keynes telah mendistorsi makna dan implikasi dari hukum Say. Seperti dikatakan oleh ekonom Austria Steven Kates yang telah menulis buku tentang soal ini, “Keynes... menyalahpahami dan menyalahartikan hukum Say... ini adalah warisan Keynes yang paling awet dan warisan ini telah merusak teori ekonomi sampai hari ini ”. ( Kates 1998: 1, dalam Mark Skousen.2005 : 66). lebih lengkapnya lihat Bab 13 dalam buku Mark Skousen. Keynes bahkan tak pernah mengutip Say secara langsung, dan beberapa sejarawan menduga bahwa Keynes sebenarnya tak pernah membaca karya Say dan dia hanya mengandalkan pada komentar Ricardo dan Marshall terhadap hukum pasar Say.
Say Mengungkapkan Kesalahan dan Menemukan Hukum Baru
Hukum Say lebih mendalam ketimbang pernyataan “penawaran menciptakan permintaanya sendiri”.
Untuk memahami makna luas dari hukum Say, kita pertama- tama harus memeriksa asal usul dari prinsip ini. Salah satu isu utama diabad 18 (seperti dkhususkan dalam Bab 1) adalah doktrin merkantilis bahwa uang, terutama penemuan emas dan perak, serta keseimbangan perdagangan, menghasilkan kekayaan dan pertumbuhan ekonomi. Selama system ekonomi periodik dan depresi, orang orang secara konstan mengeluhkan kurangnya uang. Solusi untuk mengatasi kesulitan ekonnomi itu tampaknya sederhana yaitu mencari lebih banyak uang dan membelanjakanya, dan ekonomi akan pulih kembali.
Dalam Bab 15 dari bukunya, Say menyerang doktrin kelangkaan uang ini dengan menunjukkan bahwa yang menciptakan permintaan bukan uang melainkan produk barang dan jasa. Uang hanyalah mekanisme pertukaran, dan penyebab ril dari depresi ekonomi bukanlah kekurangan uang, tetapi kurangnya penjualan oleh petani, pengusaha pabrik, dan produsen barang dan jasa lainnya. Seperti dikatakan oleh Say, “penjualan tidak bisa dikatakan sepi karena uang langka, tetapi karena produk lainnya menurun... atau, menggunakan kalimat yang lebih usang, orang lebih sedikit membeli karena mereka hanya mendpat keuntungan sedikit ” ( Say 1971: 134). Dalam edisi sebelumnya saya mengatakan bahwa “yang memfasilitasi penjualan bukanlah melimpahya uang, melainkan banyaknya produk lain pada umumnya... uang berperan tidak lebih dari saluran dalam pertukaran ganda ini. Ketika pertukaran selesai, yang terjadi adalah seseorang membayar suatu produk dengan produk” ( Kates 1998: 23, dalam buku Mark Skousen.2005 : 67).
Say menyangkal bahwa Say ada “kelebihan produksi” atau “kelebihan persediaan” dalam penurunan ekonomi, tetapi dia mengatakan bahwa (Dalam kondisi penurunan itu) produksi telah “salah diarahakan”. Ada terlalu banyak produk yang dihasilkan padahal permintaanya sedikit. Setelah harga dan ongkos menyesuaikan sendiri dengan struktur permintaan baru, maka ekonomi akan mulai tumbuh lagi. Menurut Say, konsumen akan mulai membeli sampai buruh bekerja kembali dan produsen mulai menuai profit.
Analisis ini membuat Say berhasil membuat penemuan penting : produksi adalah penyebab konsumsi atau dengan kata lain, output yang meningkat akan memperbesar pengeluaran konsumen. Dalam kalimat asli Say, “ a product is no sooner created, thain it, from that instant, affords a market for other products to the full extent of its own value” (Say 1971:134). Ketika seorang penjual memproduksi dan menjual sebuah produk, penjual itu segera menjadi pembeli yang mempunyai pendapatan untuk dibalanjakkan. Untuk membeli, seseorang harus menjual dulu.
Ringkasnya hukum Say adalah sebagai berikut (Kusnendi .2002 : 45) :
 Penawaran X menciptakan permintaan Y. Say mengilustrasikan hukum ini dengan kasus panen petani “ Semakin besat panennya, semakin besar jumlah pembelian yang dilakukan petani. Sebaliknya, panen yang buruk akan mengurangi penjualan komoditas pada umumnya” (1971: 135). Contoh lainnya: ketika muncul sebuah bisnis yang menguntungkan , maka bisnis yang menguntungkan, maka bisnis ini menciptakan pekerjaan dan permintaan barang dan jasa. Konsumsi yang meningkat pada akhirnya berasal dari penaawaran baru yakni usaha yang baru muncul tersebut.
 Hukum Say memberikan landasan mengenai sisi penawaran agregat. Dikemukakan oleh Say : “Supply Creates its Own Demand”. Setiap penawaran akan menciptakan permintaannya sendiri, atau setiap barang yang diproduksi akan selalu ada yang membelinya.
 Menurut hukum Say, setiap proses produksi akan menimbulkan dua akibat, yaitu menghasilkan output barang atau jasa ( Q ) dan juga pendapatan ( Y ) bagi para pemilik faktor produksi yang terlibat dalam proses produksi tersebut. Jadi, Q = Y. Q akan dijual dipasar barang dan akan menimbulkan penawaran agregat
(Q =AS )
 Dalam kerangka hukum Say, masyarakat membutuhkan uang bukan untuk dipegang sebagai bentuk kekayaan, tetapi masyarakat membutuhkan uang hanyalah sebagai alat untuk menentukanukuran nilai barang dan jasa ( unit of account) dan sebagai alat untuk mempermudah pertukaran ( medium of exchange). Karena itu, setiap Y yang diterima oleh para pemilik faktor produksi akan selalu dibelanjakan untuk membeli barang dan jasa, jadi menimbulkan permintaan agregat ( Y = AD )
 Jadi, menurut hukum Say : Q = AS = Y, dan Y = AD, maka karena itu AS =AD.
 Penawaran menciptakan permintaannya sendiri yang berarti pula setiap output yang dihasilkan akan selalu habis terjual. Dengan kata lain, AS akan selalu sama dengan AD.
 Implikasinya output potensial = output actual, senjang PDB = 0, pengangguran sumberdaya tidak akan pernah terjadi dan ini berarti perekonomian akan selalu berada dalam kondisi pengerjaan penuh ( Full Employment )
Say benar. Menurut statistic lingkaran hidup bisnis, ketika penurunan dimulai, yang pertamakali turun adalah produksi mendahului konsumsi. Dan ketika ekonomi mulai pulih, pemulihan itu adalah karena produksi mulai meningkat, dan kemudian diikuti peningkatan konsumsi. Pertumbuhan ekonomi dimulai dengan peningkatan produktivitas, dan peningkatan produk baru serta pasar baru. Oleh karena itu, pengeluaran produksi selalu diatas pengeluaran konsumsi dank arena itu ia menjadi indikator utama.

 

AL KHARĀJ BI AL DHAMĀN

A. Pendahuluan

Dalam usahanya mencari nafkah, seorang muslim dihadapkan pada kondisi ketidakpastian terhadap apa yang terjadi. Kita boleh saja merencanakan suatu kegiatan usaha atau investasi, namun kita tidak bisa memastikan apa yang akan kita dapatkan dari hasil investasi tersebut, apakah untung atau rugi. Hal ini merupakan sunnatullah atau ketentuan Allah seperti yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, 1400an tahun yang silam dalam Surat Luqman ayat 34 berikut:
”…dan tidak seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa-apa yang diusahakannya esok..” [QS Luqman: 34]
Ayat tersebut menjadi dasar pemikiran konsep risiko dalam Islam, khususnya kegiatan usaha dan investasi. Selanjutnya dalam surat Al Hasyr ayat 18, Allah berfirman:
”Hai orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS. Al Hasyr : 18]
Konsep ketidakpastian dalam ekonomi islam menjadi salah satu pilar penting dalam proses manajemen risiko islami. Secara natural, dalam kegiatan usaha, di dunia ini tidak ada seorangpun yang menginginkan usaha atau investasinya mengalami kerugian. Bahkan dalam tingkat makro, sebuah negara juga mengharapkan neraca perdagangannya yang positif. Kaidah syariah tentang imbal hasil dan risiko adalah Al ghunmu bil ghurmi, artinya risiko akan selalu menyertai setiap ekspektasi return atau imbal hasil.
Al ghunmu bil ghurmi, yaitu risiko akan selalu menyertai setiap ekspektasi return atau imbal hasil. (risk goes along return)
Lalu mengapa ada kerugian? Ada banyak sebab mengapa apa yang diusahakan oleh manusia bisa berhasil alias menguntungkan dan gagal alias merugi. Alam sudah mendesain bahwa selalu ada yang namanya probabilitas dimana tak seorang pun mampu memprediksi apa yang akan terjadi. Oleh karena itu kita perlu melakukan usaha pengendalian risiko yang disebut sebagai manajemen risiko.
Dalam aplikasi dalam dunia perbankan, khususnya bank syariah diketahui bahwa konsep dasar atau pokok dalam perbankan syariah ialah konsep pembagian (sharing), baik keuntungan maupun kerugian (profit and loss sharing). Prinsip yang umum adalah siapa yang ingin mendapatkan hasil dari tabungannya, harus juga bersedia mengambil risiko. Bank syariah akan membagi juga kerugian perusahaan jika mereka menginginkan perolehan hasil dari modal mereka. Hal ini selaras dengan kaidah fiqh khusus di bidang mu’amalah atau transaksi yang berbunyi: “hasil usaha muncul bersama biaya/hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian” atau al kharāj bi al dhomān dan “profit muncul bersama risiko/risiko itu menyertai manfaat” atau al ghunmu bi al ghurmi.
Konsep inilah yang semestinya menjadi produk unggulan perbankan syari’ah. Karena dengan sistem bagi-hasil, perbankan syari’ah dalam mengambil keuntungannya diharapkan tidak terjebak pada pola suku bunga yang ditetapkan oleh pemerintah, akan tetapi mereka akan mampu mendapatkan hasil yang kompetitif ketika kinerja mitra (nasabah) semakin meningkat.
Namun demikian pada realitanya, pembiayaan mudhārabah dan musyārakah dengan konsep bagi hasil serta bagi rugi (profit and loss sharing) sampai saat ini merupakan pembiayaan yang jarang dipraktekan atau diterapkan pada perbankan syari’ah. Justru sebaliknya, realita empirik menunjukan pembiayaan murābahah malah menjadi produk unggulan yang dominan diimplementasikan dalam perbankan syariah. Mau tidak mau, kritik yang membangun ini harus diterima secara lapang dada oleh semua pihak guna kebaikan serta kemaslahatan perbankan syariah.
Padahal konsep al kharāj bi al dhomān dan al ghunmu bi al ghurmi dalam perbankan syariah melalui produk pembiayaan mudhārabah dan musyārakah dengan konsep profit and loss sharing, seyogyanya dapat menjadi salah satu perbedaan mendasar antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional, sebab perbankan syariah selain tujuan komersil juga mempunyai sasaran untuk tercapainya kesejahteraan sosial serta kemaslahatan menyeluruh bagi masyarakat.

B. Definisi al Kharāj bi al Dhomān

Dasar kaidah “hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian” (al kharāj bi al dhomān) ialah Hadits Nabi yang artinya:
“Bahwa seorang laki-laki menjual seorang budak,maka budak itu bermukim di tempat pembeli dalam beberapa hari kemudian si pembeli mendapatkan cacat pada budak tersebut dan melaporkan kepada Nabi SAW, maka Nabi mengembalikan budak itu kepada laki-laki yang menjual.Maka berkatalah laki-laki itu:” Wahai Rasulullah,ia (pembeli) telah mempekerjakan (mengambil manfaat) terhadap budakku”. Rasulullah bersabda: ” Hak mendapatkan hasil itu disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”.
Menurut perspektif Abu Ubaid, yang dimaksud dengan al kharāj dalam hadits ini adalah: pekerjaan hamba yang telah dibeli seseorang, yang kemudian orang tersebut menyuruh supaya hamba itu bekerja untuknya kalau waktu tertentu. Setelah itu diketahui adanya cacat yang disembunyikan oleh si penjual, kemudian ia kembalikan kepada penjual tersebut, dengan diambil seluruh uang harganya dan ia telah mendapatkan keuntungan mempekerjakan hamba itu, karena ia telah memberikan pembelanjaannya, dan apabila ada kerugian maka ia yang rugi.
Jadi al kharāj ialah segala apa yang keluar dari sesuatu, baik berupa pekerjaan, manfaat maupun benda-benda seperti buah dari pohon, susu dari kambing dan sebagainya, dan kesemuanya adalah menjadi milik dari yang menanggungnya, sebab kalau ada kerugian, maka ia pula yang menanggungnya.
Hadits ini adalah termasuk sebagian dari ”Jawami’ul Kalim”, yakni: kalimat yang ringkas tetapi artinya luas.
Sedangkan menurut A. Djazuli, arti asal al kharāj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al dhomān adalah ganti rugi. Etimologi ini juga tidak berbeda dengan etimologi yang dijelaskan oleh Umar Abdullah al-Kamil.
Contoh dalam kitab fiqih klasik, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tersebut. Karena penggunaan binatang itu sudah menjadi hak pembeli. Contoh lain yang relevan sekarang ini ialah garansi pada alat-alat elektronik.
Kaidah al kharāj bi al dhomān dalam banyak literatur selalu bersandingan dengan kaedah al ghunmu bi al ghurmi yang bermakna: profit muncul bersama risiko atau risiko itu menyertai manfaat. Maksud dari kaidah al ghunmu bi al ghurmi ialah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung risiko. Sedangkan menurut Umar Abdullah al-Kamil, makna yang tersirat dari kaidah ini adalah bahwa barang siapa yang memperoleh manfaat dari sesuatu yang dimanfaatkannya maka ia harus bertanggung jawab atas dhoror atau ghurmu sertadhomān yang akan terjadi. Misal, biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhoan dari penjual untuk ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang, maka ia wajib mengembalikannya dan risiko biaya-biaya pengembaliannya.

C. Implementasi Konsep al Ghunmu bi al Ghurmi dalam Pembiayaan Mudhārabahdan Musyārakah pada Perbankan Syariah

Perkembangan ekonomi Islam identik dengan berkembangnya Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Salah satu filosofi dasar ajaran Islam dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, yaitu larangan untuk berbuat curang dan dzalim. Semua transaksi yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah berdasarkan prinsip rela sama rela (‘an tarādhin minkum), dan tidak bolehada pihak yang menzalimi atau dizalimi. Prinsip dasar ini mempunyai implikasi yangsangat luas dalam bidang ekonomi dan bisnis, termasuk dalam praktek perbankan. Salah satu kritik Islam terhadap praktek perbankan konvensional adalah dilanggarnya prinsip al kharāj bi al dhamān(hasil usaha muncul bersama biaya) dan prinsip al ghunmu bi al ghurmi (profit muncul bersama resiko). Dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan dan giro, bank konvensional memberikan pinjaman dengan mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukanterlebih dahulu di awal transaksi (fixed and predetermined rate). Sedangkan nasabah yangmendapatkan pinjaman tidak mendapatkan keuntungan yang fixedand predetermined juga, karena dalam bisnis selalu ada kemungkinan rugi, impas atau untung yang besarnya tidak dapat ditentukan dari awal.
Oleh karenanya mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakantindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, karena itu diharamkan. Di sini bank konvensional menuntut mendapatkan untung yang fixed and predetermined tetapi menolak untuk menanggung risikonya (al ghunmu bi lā ghurmi / againing return without being responsible for any risk). Bank konvensional mengharapkan hasil usaha, tetapi tidak bersedia menanggung biayanya (al kharāj bi lā dhamān / gaining income without being responsible for any expenses). Padahal prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip dasar dalam teori keuangan, yakni prinsip bahwa return/profit selalu beriringan dengan risiko (return goes along with risk).
Sebagai sebuah alternatif, Lembaga Keuangan Syariah termasuk perbankan syariah telah memformulasikan sistem interaksi kerja yang dapat menghindari aspek-aspek negatif dari sistem kerja bank konvensional, yaitu dengan menerapkan beberapa sistem, dimana harus diciptakan bank (lembaga keuangan) syariah yang tidak bekerja atas dasar bunga melainkan atas sistem bagi hasil, antara lain yang dikenal dalam fiqh mu’amalah sebagai transaksimudhārabah atau qirādh dan musyārakah.
Secara etimologi kata mudārabah berasal dari kata dharb. Dalam bahasa Arab, kata ini termasuk di antara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya; memukul, berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar, berubah, mencampur, berjalan, dan lain sebagainya. Perubahan makna tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya. Namun dibalik keluwesan kata ini dapat ditarik benang merah yang dapat merepresentasikan keragaman makna yang ditimbulkannya, yaitu bergeraknya sesuatu kepada sesuatu yang lain.
Secara umum para fuqaha mendefinisikan mudhārabah sebagai penyerahan sejumlah modal tertentu dari seorang sāhib al māl (penyandang dana) kepada mudarib (pengusaha) agar uang tersebut dapat dikelola dan jika ada keuntungan dibagi secarabersama-sama berdasarkan kesepakatan dan jika terjadi kerugian maka ditanggung uangmodal itu oleh sāhibal māl dengan syarat-syarat tertentu.
Menurut Fatwa MUI (2000) bahwa, mudārabah yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua belah pihak di mana pihak pertama (malik, sāhib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudārib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha bagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Dari beberapa uraian di atas, dapat di tarik garis lurus, bahwa mudārabah adalah suatu akad yang memuat penyerahan modal atau semaknanya dalam jumlah, jenis dan katakter tertentu dari seorang pemilik modal (sāhib al-mal) kepada pengelola (mudārib) untuk dipergunakan sebagai sebuah usaha dengan ketentuan jika usaha tersebut mendatangkan hasil maka hasil (laba) tersebut dibagi berdua berdasarkan kesepakatan sebelumnya, sementara jika usaha tersebut tidak mendatangkan hasil atau bangkrut maka kerugian materi sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal dengan syarat dan rukun-rukun tertentu.
Secara teknis mudārabah merupakan kontrak yang melibatkan antara dua kelompok, yaitu pemilik modal (investor) yang mempercayakan modalnya kepada pengelola (mudārib) untuk digunakan dalam aktivitas perdagangan. Mudārib dalam hal ini memberikan kontribusi pekerjaan, waktu, dan mengelola usahanya sesuai dengan ketentuan yang dicapai dalam kontrak, salah satunya adalah untuk mencapai keuntungan (profit) yang dibagi antara pihakinvestor dan mudārib berdasarkan proporsi yang telah disetujui bersama. Demikian juga sebaliknya, apabila terjadi kerugian yang menanggung adalah pihak investor dan mudārib, karena profit atau laba serta kerugian dibagi serta ditanggungg bersama. Hal ini sejalan dengan maksud konsep kaidah al kharāj bi al dhomān dan al ghunmu bi al ghurmi.
Adapun nisbah keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak. Salah satu pihak tidak diperkenankan mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi kepada pihak yang lain. Selain itu proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak, dan proporsi tersebut harus dari keuntungan. Dalam kajian hukum mu’amalah, masalah akad (‘aqd) atau perjanjian menempatiposisi sentral, karena ia merupakan cara paling penting yang digunakan untuk memperolehsuatu maksud, terutama yang berkenaan dengan harta atau manfaat sesuatu secara sah.
Didalam akad atau perjanjian terdapat pernyataan atas suatu keinginan positif dari salah satu pihak yang terlibat dan diterima oleh pihak lainnya, yang menimbulkan akibat hukum pada obyek perjanjian. Kesepakatan atau akad adalah salah satu bentuk perbuatan hukum atau disebut dengan tasharruf.
Suatu tindakan dapat disebut sebagai akad atau perjanjian jika memenuhi beberapa rukun dan syarat. Rukun akad adalah unsur mutlak yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad. Jika salah satu rukun tidak ada secara syariah akad dipandang tidak pernah ada. Sedangkan syarat adalah suatu sifat yang mesti ada pada setiap rukun, tetapi bukan merupakan esensi akad. Seperti yang dimaksud dalam kaidah fiqh berikut ini:
القصود في العقود معتبرة
Sehingga, dalam menjalin beberapa ketentuan transaksi antara LKS dan nasabah, sistemmudārabah dan musyārakah telah mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan mekanisme kesepakatan (akad) pembiayaan mudārabah dan musyārakah dan mekanisme pelaksanaan bagi hasil sesuai dengan kebijakan LKS-nya masing-masing.
Pada dasarnya, implementasi konsep kaidah al kharāj bi al dhomān dan al ghunmu bi al ghurmi dalam pembiayaan mudārabah tidak jauh berbeda dengan pembiayaanmusyārakah pada perbankan syariah.
Mengingat definisi etimologi musyārakah berasal dari kata syirkah yang berarti percampuran. Menurut para fuqahā musyārakah berarti: “akad antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan”. Sedangkan secara terminology menurut Fatwa DSN NO: 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyārakah yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Letak perbedaan mendasar antara mudārabah dengan musyārakah ialah bahwa pada akadmudārabah lebih menekankan kerjasama mitra usaha dan investasi dan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari shāhibul māl dan keahlian atau skill dari mudhārib. Sedangkan pada akad musyārakah lebih mengedepankan kerjasama modal usaha antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, tentunya baik pada akad mudārabah maupun pada akad musyārakah memprhatikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Namun pada prakteknya, pembiayaan mudārabah dan musyārakah pada perbankan syariah hanya terdapat dan sering diaplikasikan serta dijumpai pada produk simpanan atau tabungan (penghimpunan dana/funding), sebab lebih simpel dan sederhana jika ditinjau dari segi pengelolaan dan operasionalnya. Jika akad mudārabah diaplikasikan dalam pembiayaan, dapat dipastikan pembiayaan mudārabah sangat jarang ditemukan dikarenakan tingkatghurmu-nya yang sangat tinggi, padahal jika usahanya meraih sukses maka secara otomatis tingkat ghunmu-nya juga tinggi. Maka, seharusnya produk ini bisa menjadi produk unggulan/andalan dan harus paling dominan pada perbankan syariah sebagai bank yang selalu menjunjung tinggi jargon “bagi-hasil” dengan branding “syariah” yang kerap diidentikkan dengan agama Islam itu sendiri, dan bank yang sering kali memprioritaskan prinsip keadilan (‘adl) dan pelarangan dharar bagi semua pihak dalam bermu’amalah. Sebagaimana termaktub dalam kaidah fiqih:

الأصل هو العدل في كل المعاملات ومراعاة الطرفين ورفع الضرر عنهما

D. Al Ghurmu pada Pembiayaan Mudhārabah dan Musyārakah

Selanjutnya, oleh karena konsep kaidah al kharaj bi al dhoman dan al ghunmu bi al ghurmi.Tentunya, pembiayaan mudhārabah dan musyārakah pada perbankan syariah rentan akan risiko-risiko, bahkan faktor inilah yang mengakibatkan tidak banyak dari perbankan syariah yang enggan (belum minat) untuk melaksanakan pembiayaan mudhārabah dan musyārakah.
Pembiayaan mudhārabah dan musyārakah memiliki beberapa risiko (ghurmu) yang harus dikendalikan dengan manajemen risiko pembiayaan mudārabah dan musyārakah, risiko pembiayaan mudārabah dan musyārakah dibagi menjadi dua jenis yaitu:
1. Risiko Bisnis (Business Risk)
Yaitu risiko yang ditimbulkan dari aktifitas bisnis itu sendiri. jika untung, pembagian berdasarkan nisbah, sedagkan kalau rugi pembagian berdasarkan proporsi modal. Jika bisnis rugi, maka sesungguhnya mudārib akan menanggung kerugian. Bila yang dikontribusikan adalah uang, maka risikonya adalah hilangnya uang tersebut, sedangkan bila yang dikontribusikan adalah kerja, maka risiko adalah hilangnya kerja, usaha dan waktunya dengan tidak mendapatkan hasil apapun atas jerih payahnya dalam bisnis.
2. Risiko Karakter (Character Risk)
Bila kerugian terjadi karena buruk mudārib, misalnya karena mudārib lalai dan/atau melanggar persyaratan - persyaratan kontrak mudārabah dan musyārakah, maka sāhib al-māl tidak perlu menanggung kerugian.
Risiko yang terdapat dalam mudārabah dan musyārakah, terutama dalam penerapannya dalam pembiayaan relatif tinggi. Dia antaranya:
• Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak.
• Lalai dan kesalahan yang disengaja.
• Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.[26]
Sedangkan risiko pembiayaan mudārabah antara lain:
• Nasabah yang tidak amanah (tidak jujur).
• Pelaporan keuangan tidak sesuai dengan kenyataan (manipulasi laporan).
• Nasabah tidak memakai dana sebagaimana kesepakatan dalam kontrak perjanjian.
• Kecerobohan dan kesalahan yang disengaja oleh nasabah.
• Nasabah tidak mampu menjaga serta mengelola kondisi keuangan sesuai dengan cara-cara usaha yang sehat dan hati-hati.
• Karakter nasabah tidak baik.
• Tidak ada pembukuan yang jelas (biasanya pada pengusaha kecil).

Risiko-risiko pembiayaan mudārabah dan musyārakah di atas, bukan untuk dihindari melainkan harus dihadapi dan dikendalikan, karena memang semua pembiayaan yang ada dalam perbankan memiliki tingkat risiko yang berbeda-beda sesuai dengan jumlah nominal, waktu, tempat dan kondisi. Kalau bank tidak mampu mengantisipasi, mengatasi dan mengendalikannya, maka akan berakibat pada sektor pendapata dan kepercayaan terhadap bank berkurang. Untuk mengantisipasi kondisi serta penilaian masyarakat terhadap bank (lembaga keuangan) yang negatif (tidak sehat), maka sangat penting adanay pengendalian risiko sehingga kepercayaan masyarakat, nasabah serta pemerintah bertanbah baik dan akan berpengaruh terhadap sektor pendapatan bank meningkat sesuai dengan perencaan standar koefisien pendapatan yang diharapak yaitu bagi hasil. Usaha untuk meminimalisasi risiko dapat digunakan alat-alat analisa calon nasabah yang biasa digunakan dalam perbankan baik secara umum maupun khusus, yaitu menggunakan prinsip-prinsip seperti: 5C dan 3R.
1. Capital (modal/kekayaan)
Modal adalah salah satu yang menjadi penilaian oleh pihak bank (sāhibul al-mal) dalam menganalisis sebuah pembiayaan modal merupakan kebutuhan utama dalam mendirikan sebuah usaha atau sebagai sumber pembiayaan pertama.
2. Collateral (barang jaminan/anggunan)
Barang jaminan merupakan hal yang penting dalam pelaksaan pembiayaan termasukmudārabah karena dengan adanya jaminan selain menjaga keamanan atas pembiayaan yang akan memotivasi nasabah untuk tetap rajin dan tidak lalai atas kewajibannya dalam melunasi pembiayaan yang dilakukan.
3. Capacity (kemampuan utnuk membayar hutang)
Kemampuan nasabah dalam mengelola dan menangani usaha serta modal kerja yang ia miliki tentunya sangat perlu dalam menjalankan usaha yang ia lakukan tersebut tentunya memerlukan modal dan juga dana pihak ketiga termasuk bank, jika nasabah tidak mampu mengelola usahanya maka disinilah bank harus melihat seberapa besar kemampuan nasabah dalam mengembalikan pinjaman yang ia lakukan baik dari segi pinjaman maupun jaminan.


4. Condition (kondisi/lingkungan)
Penilaian yang dilakukan disini berkenaan dengan bagaimana prospek kegiatan usaha yang dimiliki oleh si pemohon pembiayaan/nasabah apakah berisiko tinggi atau tidak, juga apakah usaha yang dilakukan tersebut tidak mengganggu lingkungan sekitarnya.

5. Character (watak/sifat)
Berbicara tentang karakter atau sifat di sini pihak bank tenntunya tidak akan mau mengambil risiko, maka dalam hal ini bank akan melakukan penelitian atau penjajakan atas pemohon/nasabah, apakah nasabah memiliki perilaku dan akhlak yang baik atau tidak, serta mengadakan hubungan yang baik dengan orang sekitarnya termasuk keluarga dan masyarakat.

Prinsip lain yang harus dilakukan oleh pihak bank dalam melakukan pembiayan terhadap nasabah antara lain 3R, yaitu:
1. Return Principle
Pihak bank harus menilai tentang pembiayaan yang dilakukan bank akan menghasilkan laba dan juga kemampuan nasabah dalam mengembalikan pinjaman atas pembiayaan tersebut.
2. Payment Capacity
Hal ini berkaitan dengan kemampuan nasabah atas pihak pemohon pembiayan dalam mengembalikan pinjaman pembiayaan dengan tepat waktu.
3. Risk Breaking
Bank juga harus dapat mengetahui tingkat kemungkinan risiko yang akan dihadapinya jika melakukan suatu pembiayaan tertentu.
Tidak semua alat analisis atau prinsip-prinsip di atas dapat diterapkan semuanya, namun setidaknya banyak hal yang menjadi perhatian dan pertimbangan bank sebelum memutuskan suatu pembiayaan. Selain prinsip-prinsip di atas tadi untuk mengetahui seberapa dalam penelitian atau analisis data tersebut ditentukan pula melalui hal-hal sebagai berikut:
1. Jumlah kredit yang akan diberikan. Semakin besar jumlah kredt yang akan diberikan, semakin besar pula risikonya. Karena itulah, makin besar pembiayaan yang diminta makin tinggi pula kehati-hatian dalam menganalisis data yang ada.
2. Jangka waktu kredit. Semakin lama jangka waktunya, maka tingkat resiko kredit tersebut akan lebih tingi pula, dan semakin tinggi risiko bank akan makin berhati-hati dalam penyaluran dana tersebut.
3. Jaminan yang disediakan. Jika nilai jaminan yang disediakan untuk calon nasabah lebih tinggi dari pada bearnya pembiayaan yang diajukan, maka pihak bank akan lebih mudah dalam melakukan analisa.
4. Reputasi debitur. Makin baik reputasi calon nasabah, maka bank akan lenih mudah dalam memberikan permohonan pembiayaan (kredit).
5. Hubungannya dengan baik. Hubungan ini dapat berupa pembukuan tabungan, gaji atau pernah menjadi nasabah dalam suatu pembiayaan. Jika bank telah atau pernah mengenal calon debiturnya, biasanya ini akan lebih mempermudah proses analisa kelayakan usaha yang diajukan.
E. Derivasi Kaidah al Kharāj bi al Dhomān wa al Ghunmu bi al Ghurmi

Di bawah ini terdapat beberapa derivasi kaidah al kharāj bi al dhomān wa al Ghunmu bi al Ghurmi yang dapat dirinci sebagai berikut, yaitu:
1. Al ajru wa al dhomān lā yajtami’āni
“Pemberian upah dan tanggungjawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan”
Yang disebut dengan dhomān atau ganti rugi dengan kaidah tersebut adalah mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran.
Contoh, seseorang penyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat.Maka, si penyewa harus mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya.

2. Idā bathala as syai’u bathala mā fiy dhamnihi
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”
Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi.Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya.

3. Al jawāzu as syar’i yunāfiy al dhamān
“Suatu hal dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A menggali sumur ditempat miliknya sendiri.Kemudian binatang tetangganya jatuh ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali sumur ditempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.

4. Al mubāsyir dhāminun wa in lam yata’ammad
“Yang berbuat langsung bertanggung jawab meskipun tidak disengaja”
Contohnya seperti orang tergelincir kemudian orang lain tertimpa olehnya sehingga menyebabkan luka. Orang yang tergelincir itu harus bertanggung jawab karena kelalaian atau ketidak hati-hatiannya. Misal lain sopir menabrak seseorang karena ketidak hati-hatiannya.

5. Al mutasabbibu lā yadhmanu illā bi at ta’ammudi
“Pelaku tidak langsung tidak bertanggung jawab kecuali disertai kesengajaan”
Contohnya: si A mengejar si B, kemudian si B menabrak si C. Si A tidak bertanggung jawab atas terlukanya si C, kecuali si A dengan sengaja mengarahkan si B ke si C, agar si C tertabrak.

6. Kullu mā shahha ar rahnu bihi shahha dhamānuhu
“Setiap yang digadaikan, sah pula dijadikan jaminan”

7. Ajruka ‘alā qadri nashbika (HR. Muslim)
“Pahalamu adalah berdasarkan kadar usahamu”.
Maksud utama dari hadits di atas ialah untuk semua amal kebaikan, apabila ia semakin banyak diamalkan maka semakin bertambah pula fadhilahnya.
Hadits tersebut jika diambil benang merahnya dengan kaidah al kharāj bi al dhomān wa al ghunmu bi al ghurmi, maka akan muncul kaidah baru yang berbunyi hasil usaha sesuai dengan kadar biaya yang telah dikeluarkan dan keuntungan yang didapat berdasarkan kadar risiko yang dihadapi. ini juga sesuai dengan keidah:
An ni’matu bi qadri an nuqmati wa an nuqmatu bi qadri an ni’mati
“Kenikmatan yang diraih berdasarkan kadar kesulitannya, dan kesulitan yang dihadapi berdasarkan kadar kenikmatan yang akan diraih”


F. Penutup
Perbankan syariah memiliki posisi unik dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading) melalui akad jual beli. Tetapi sayangnya, keunikan tersebut dominan diaplikasikan dalam perbankan syariah. Padahal ada hal lain yang lebih urgent yaitukhitthoh pebankan syariah sebagai bank bagi hasil, bukan hanya dalam penghimpunan dana akan tetapi juga pembiayaan, yang justru banyak diakses serta dibutuhkan oleh kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Pembiayaan yang masyhur bersifat bagi hasil serta bagi rugi pada perbankan syariah ada dua, yaitu pembiayaan mudhārabah dan musyārakah. Dimana mudhārabah dan musyārakah dalamliterature fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (‘uqud al amānah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjujung keadilan. Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama, dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk tidak melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan, sebab akan merusak ajaran Islam dan menimbulkan image yang negatif.
Oleh karena pembiayaan mudhārabah dan musyārakah itu basiknya ‘uqud al amānah, maka semua pihak yang terkait harus benar-banar mempunyai sifat amanah dan bertanggung jawab. Tidak heran jika dua pembiayaan ini sangat sulit diterapkan, melihat ghurmu dan dhamān-nya juga sangat tinggi dan rentan akan wan prestasi, padahal jika ini diaplikasikan dalam perbankan syariah ghunmu dan kharāj-nya juga akan lebih besar dan akan menjadikan pembeda yang signifikan dengan perbankan konvensional, dibandingkan dengan pembeda-pembeda lainnya yang dikira sudah workable.
Pepatah ekonom dahulu mengatakan “modal sedikit untung sebesar-besarnya”, statment ini agaknya sudah kurang relevan lagi dengan konteks dewasa ini. Karena proporsi besar dan kecinya modal juga menentukan porsi ghunmu atau kharāj dan ghurmu atau dhamān yang akan diraih serta dihadapi. Islam memiliki solusi dan way out yang lebih arif dan sangat relevan melalui kaidah fiqih yang berbunyi: “untung muncul bersama risiko dan hasil usaha muncul bersama biaya” (al ghunmu bi al ghurmi wa al kharāj bi al dhamān). Akan lebih baik lagi apabila kaidah ini diimplementasikan pada pembiayaan mudhārabah dan musyārakah di perbankan syariah.







Rujukan

Karim, Adiwarman A. 2003. Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta, IIIT Indonesia

http://hendrihermawanadinugraha.wordpress.com/2012/03/26/implementasi-kaidah-al-ghunmu-bi-al-ghurmi-wa-al-kharaj-bi-al-dhaman-dalam-pembiayaan-mudharabah-dan-musyarakah-pada-perbankan-syariah/
http://wikusuryomurti.com/konsep-risiko-dalam-islam/
http://iaei-pusat.org/article_detail.php?article=12

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1079:enam-pilar-perekonomian-modern-yang-islami&catid=8:kajian-ekonomi&Itemid=60
 

OBLIGASI SYARIAH

1.2.1. Pengertian Obligasi
Obligasi merupakan surat utang dari suatu lembaga atau perusahaan yang dijual kepada investor untuk mendapatkan dana segar. Para investor akan mendapatkan return dalam bentuk tingkat suku bunga tertentu yang sangat bervariasi tergantung kekuatan bisnis penerbitnya. Suku bunga ini bisa dibayarkan secara tetap atau berjenjang. Dalam pasar uang yang sudah berkembang dengan baik bentuk dan jenis obligasi bisa mencapai belasan maupun puluhan.
Obligasi sebagaimana sekuritas pendapatan tetap (fixed income securitites) memiliki beberapa karakteristik: Pertama, surat berharga yang mempunyai kekuatan hokum. Kedua, memiliki jangka waktu tertentu atau masa jatuh tempo. Ketiga, memberikan pendapatan tetap secara periodik. Keempat ada nilai nominal, yang disebut jugs nilai pari, par value, stated value, atau nilai kopur.
Besarnya presentase pembayaran yang diberikan secara periodic atas pembayaran persentase tertentu didasarkan atas nilai nominalnya atau disebut pembayaran kupon. Kupon merupakan penghasilan bunga obligasi yang didasarkan atas nilai nominal yang dilakukan perjanjian, biasanya setiap tahun atau setiap semester atau triwulanan. Penentuan tingkat kupon obligasi biasa ditentukan berdasarkan tingkat bunga komersial yang sedang berlaku. Setelah obligasi memasuki masa jatuh tempo (maturity date) pemilik obligasi akan menerima pokok pinjaman dan satu kali pembayaran kupon. Besarnya pelunasan obligasi oleh penerbit pada saat jatuh tempo akan ekuivalen dengan harganya.
Sebagai surat utang, penerbitan obligasi melibatkan perjanjian kontrak yang mengikat antara pihak penerbit (issuer) dengan pihak pembeli pinjaman/investor/bondholder. Kontrak perjanjian yang mengikat antara penerbit dengan pihak pemberi pinjaman sebagai investor minimal harus berisi empat hal :
1. Besarnya tingkat kupon serta periode pembayarannya,
2. Jangka waktu jatuh tempo
3. Besarnya nominal, dan
4. Jenis obligasi
Obligasi sebelum diperdagangkan harus mengikuti proses pemeringkatan. Pemeringkatan terhadap obligasi akan diterbitkan bertujuan untuk menilai kinerja perusahaan. Ada dua lembaga pemeringkat (rating agency) yang terbesar di dunia yaitu Moody’s dan standard and Poor’s. Sedangkan lembaga pemeringkat di Indonesia adalah PT. Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO)
1.2.2. Obligasi Syariah
Sebagaimana fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 32/DSN-MUI/IX/2002, obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Obligasi syariah bukan merupakan utang berbung tetap, tetapi lebih merupakan penyerta dana yang didasarkan pada prinsip bagi hasil. Transaksinya bukan akad utang-piutang melainkan penyertaan. Obligasi sejenis ini lazim dinamakan muqaradhah bond, dimana muqaradhah merupakan nama lain dari mudharabah. Dalam bentuknya yang sederhana, obligasi syariah diterbitkan oleh sebuah perusahaan atau emiten sebagai pengelola atau mudharib dan dibeli oleh investor atau shahib maal.
Dana yang terhimpun disalurkan untuk mengembangkan usaha lama atau pembangunan suatu unit baru yang benar-benar berbeda dari usaha lama. Bentuk alokasi dana yang khusus dalam syariah dikenal dengan istilah mudharabah muqayyadah. Atas penyertaannya, investor berhak mendapatkan nisbah keuntungan tertentu yang dihitung secara proporsional dan dibayarkan secara periodik.
1.2.3. Jenis dan Peringkat Obligasi
Jenis dan peringkat obligasi yang dikenal di pasar Indonesia adalah sebagai berikut :
A. Berdasarkan Penerbitan
1. Obligasi Pemerintah Pusat
2. Obligasi Pemerintah Daerah
3. Obligasi Badan Usaha Milik Negara
4. Obligasi Perusahaan Swasta
B. Berdasarkan Jaminan
1. Unsecured bonds/debentures atau obligasi tanpa jaminan
2. Indenture, atau obligasi dengan jaminan
3. Mortgage bond, atau obligasi yang dijamin dengan properti
4. Collatereal trust atau obligasi yang dijamin dengan sekuritas
5. Equipment trust certificates atau obligasi yang dijamin asset tertentu
6. Colateralized mortgage atau obligasi yang dijamin pool of mortages atau portofolio mortgage-backed securities.
C. Berdasarkan Jenis Kupon
1. Fixed Rate, obligasi yang memberikan tingkat kupon tetap sejak diterbitkan hingga jatuh tempo
2. Floating rate, obligasi yang tingkat bunganya mengikuti tingkat kupon yang berlaku dipasar
3. Mixed rate, obligasi yang memberikan tingkat kupon tetap untuk periode tertentu
D. Berdasarakan Peringkatnya
1. Investment grade bonds, minimal BB+
2. Non-Investment-grade-bonds, CC atau speculative bond dan D atau junk bond
E. Berdasarkan Kupon
1. Coupon bonds pada obligasi berkupon
2. Zero Coupon Bonds, untuk obligasi nirkupon
F. Berdasarkan Call Feature
1. Freely callable bond, obligasi yang dapat ditarik kembali oleh penerbitnya setiap waktu sebelum masa jatuh tempo.
2. Non-callable-bond, setelah obligasi diterbitkan dan terjual, tidak dapat dibeli/ditarik kembali oleh penerbitnya sebelum obligasi tersebut jatuh tempo
3. Deffered callable bond adalah kombinasi antara freely callable bonds non dengan non callable bond.
G. Berdasarkan Konversi
1. Convertible bond, obligasi yang dapat ditukarkan saham setelah jangka waktu tertentu
2. Non-convertible bond, obligasi yang tidak dapat dikonversi menjadi saham
H. Jenis Obligasi Lainnya
1. Income bond, obligasi yang membayarkan kupon hanya jika emiten penerbitnya mendapatkan laba
2. Guaranted bond, obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan cabang tetapi tidak didukung oleh perusahaan induk
3. Participating bond, obligasi yang memiliki hak menerima atas laba selain penghasilan bunga secara periodik
4. Voting bond, obligasi yang mempunyai hak suara
5. Serial bond, obligasi yang pelunasannya berdasarkan nomor seri
6. Inflation index bond atau yang disebut juga treasury inflation protection securities (TIPS), obligasi yang nilai nominalnya selalu disesuaikan dengan tingkat inflasi yang sedang berlaku.

1.2.4. Perbedaan Obligasi Syariah dan Konvensional
Dalam harga penawaran, jatuh tempo, pokok obligasi saat jatuh tempo dan rating antara obligasi syariah dengan obligasi konvensional tidak ada bedanya. Perbedaan terdapat pada pendapatan dan return. Perbedaan obligasi tersebut dapat dibedakan sebagai berikut :
Keterangan Obligasi Syariah Obligasi Konvensional
Harga Penawaran 100% 100%
Jatuh Tempo 5 tahun
Pokok Obligasi saat jatuh tempo 100% 100%
Pendapatan Bagi Hasil Bunga
Return 15,5-16% indikatif 15,5-16% tetap
Rating AA+ AA+

Namun dalam obligasi syariah lebih kompetitif disbanding obligasi konvensional sebab:
1. Kemungkinan perolehan dari bagi hasil pendapatan lebih tinggi daripada obligasi konvensional
2. Obligasi syariah aman karena untuk mendanai proyek prospektif
3. Bila terjadi kerugian (diluar kontrol) investor tetap memperoleh aktiva
4. Terobosan paradigm bukan lagi surat utang tapi surat investasi

1.2.5. Struktur Obligasi Syariah
Obligasi syariah sebagai bentuk pendanaan (financing) dan sekaligus investasi (investment) memungkinkan beberapa bentuk struktur yang dapat ditawarkan untuk tetap menghindarkan pada riba. Berdasarkan pengertian tersebut obligasi syariah dapat memberikan:
1. Bagi hasil berdasarkan akad mudharabah/muqaradah/qirad atau musyarakah adalah kerjasama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini akan memberikan return dengan penggunaan time indicative/expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.
2. Margin/fee berdasarkan akad murabahah atau salam atau istishna atau ijarah dengan kadar murabahah/salam/istishna sebagai bentuk jual beli dengan skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed return

Beberapa alasan yang mendasar pemilihan struktur mudharabah, antara lain:
1. Bentuk pendanaan yang paling sesuai untuk investasi dalam jumlah besar dan jangka yang relative panjang
2. Dapat digunakan untuk pendanaan umum (general financing) seperti pendanaan modal kerja ataupun pendanaan capital expenditure.
3. Mudharabah merupakan percampuran kerja sama antara modal dan jasa (kegiatan usaha) sehingga membuat strukturnya memungkinkan untuk tidak memerlukan jaminan (collateral) atas asset yang spesifik. Hal ini berbeda dengan struktur yang menggunakan dasar kadar jual-beli yang mensyaratkan jaminan asset yang didanai.
4. Kecenderungan regional dan global, dari penggunaan struktur murabahah dan bai bithaman ajil menjadi mudharabah dan ijarah.

1.2.6. Emisi Obligasi Syariah
Syarat-syarat untuk menerbitkan obligasi syariah adalah sebagai berikut :
1. Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi Fatwa No. 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis usaha yang bertentangan dengan syariah islam diantaranya adalah:
a. Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang
b. Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi) termasuk perbankan dan asuransi konvensional
c. Usaha yang memproduksi, mendistribusikan, serta meperdagangkan makanan dan minuman haram.
d. Usaha yang memproduksi, mendistribusikan dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat.
2. Peringkat investasi grade
a. Memiliki fundamental usaha yang kuat
b. Memiliki fundamental keuangan yang kuat
c. Memiliki citra yang baik bagi publik
3. Keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen Jakarta Islamic Index (JII)



1.2.7. Perhitungan Bagi Hasil Obligasi Syariah
Perhitungan bagi hasil obligasi syariah dapat diilustrasikan sebagai berikut. Misalnya, perhitungan obligasi syariah indosat memberikan nisbah kepada pemegang obligasi atas pendapatan satelit dan pendapatan internet sebagai berikut :
Tahun 1 : 6,95% dari satelit dan 10,75% dari internet
Tahun 2 : 6,95% dari satelit dan 9,02 % dari internet
Tahun 3 : 6,95% dari satelit dan 7,69 % dari internet
Tahun 4 : 6,95% dari satelit dan 6,56 % dari internet
Tahun 5 : 6,95% dari satelit dan 5,50 % dari internet
Tanggal pencatatan obligasi syariah mudharabah Indosat : 8 Novenber 2002. Pendapatan bagi hasil tahun pertama akan dibagikan berturut-turut pada 8 Februari 2003, 8 Mei, 8 Agustus, dan 8 November 2003. Pada bagi hasil kedua 8 Mei 2003, dasar keuangan laporan laba rugi yang digunakan adalah periode kuartal ke-4 2002 (terakhir sebelum H-10 tanggal jatuh tempo pembayaran pendapatan bagi hasil) yang memberi rincian sebagai berikut:
Pendapatan satelit = Rp 53, 48 Miliar
Pendapatan Internet = Rp 38, 15 Miliar

Denagn nisbah diatas, maka investor akan menerima pendapatan bagi hasil :
(6,91% X Rp 53,48 Miliar) + (10,75% X Rp 38,15 Miliar) = Rp. 7,80 Miliar
Ekuivalen return aktualnya adalah :
(Rp 7,80 Miliar X 4)/ Rp 75 Miliar = 17,82% per tahun

1.2.8. Mekasnisme Obligasi Syariah
Beberapa hal pokok mengenai obligasi syariah mudharabah dapat diringkas dalam beberapa butir:
1. Kontrak atau akad mudharabah tercantum dalam perjanjian perwaliamanatan.
2. Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) boleh ditetapkan sesuai dengan komponen penghasilan (revenue) atau keuntungan (profit; operating profit, EBIT, atau EBITDA).
3. Nisbah boleh ditetapkan konstan, meningkat, atau menurun. Dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan emiten. Tetapi sudah ditetapkan diawal kontrak.
4. Pendapatan bagi hasil berarti jumlah pendapatan yang dibagihasilkan menjadi hak investor dan harus dibayarkan oleh emiten pada pemegang obligasi syariah dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah investor dengan pendapatan/keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten.
5. Pembagian keuntungan boleh dilakukan secara periodik; tahunan, kuartalan, atau bulanan.
6. Obligasi syariah memberikan indicative return tertentu karena besar keuntungan ditentukan oleh kinerja aktual perusahaan atau emiten.

1.2.9. Kendala Pengembangan Obligasi Syariah
Kendala dalam pengembangan obligasi syariah diantaranya sebagai berikut:
1. Belum banyak masyarakat yang paham tentang keberadaan obligasi syariah, apalagi sistem yang digunakannya
2. Masyarakat dalam penimpan dananya cenderung didasarkan atas pertimbangan pragmatis
3. Di usia yang masih relatif muda dan sistem yang berbeda, obligasi syariah dikondisikan untuk menghadapi masyarakat yang kurang percaya akan keberadaan sistem yang belum ia kenal

1.2.10. Strategi Pengembangan Obligasi Syariah
Usaha yang perlu dilakukan untuk menjawab kendala-kendala obligasi syariah adalah sebagai berikut :
1. Langkah-langkah sosialisasi dilakukan untuk membangun pemahaman masyarakat akan keberadaan obligasi syariah di tengah-tengah masyarakat
2. Usaha untuk menarik pasar emosional secara statistik relatif lebih sedikit daripada pasar rasional
3. Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat, usaha untuk meningkatkan profesionalitas, kualitas, kapabilitas, dan efisiensi untuk selalu dilakukan oleh obligasi syariah.