AL KHARĀJ BI AL DHAMĀN

A. Pendahuluan

Dalam usahanya mencari nafkah, seorang muslim dihadapkan pada kondisi ketidakpastian terhadap apa yang terjadi. Kita boleh saja merencanakan suatu kegiatan usaha atau investasi, namun kita tidak bisa memastikan apa yang akan kita dapatkan dari hasil investasi tersebut, apakah untung atau rugi. Hal ini merupakan sunnatullah atau ketentuan Allah seperti yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, 1400an tahun yang silam dalam Surat Luqman ayat 34 berikut:
”…dan tidak seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa-apa yang diusahakannya esok..” [QS Luqman: 34]
Ayat tersebut menjadi dasar pemikiran konsep risiko dalam Islam, khususnya kegiatan usaha dan investasi. Selanjutnya dalam surat Al Hasyr ayat 18, Allah berfirman:
”Hai orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS. Al Hasyr : 18]
Konsep ketidakpastian dalam ekonomi islam menjadi salah satu pilar penting dalam proses manajemen risiko islami. Secara natural, dalam kegiatan usaha, di dunia ini tidak ada seorangpun yang menginginkan usaha atau investasinya mengalami kerugian. Bahkan dalam tingkat makro, sebuah negara juga mengharapkan neraca perdagangannya yang positif. Kaidah syariah tentang imbal hasil dan risiko adalah Al ghunmu bil ghurmi, artinya risiko akan selalu menyertai setiap ekspektasi return atau imbal hasil.
Al ghunmu bil ghurmi, yaitu risiko akan selalu menyertai setiap ekspektasi return atau imbal hasil. (risk goes along return)
Lalu mengapa ada kerugian? Ada banyak sebab mengapa apa yang diusahakan oleh manusia bisa berhasil alias menguntungkan dan gagal alias merugi. Alam sudah mendesain bahwa selalu ada yang namanya probabilitas dimana tak seorang pun mampu memprediksi apa yang akan terjadi. Oleh karena itu kita perlu melakukan usaha pengendalian risiko yang disebut sebagai manajemen risiko.
Dalam aplikasi dalam dunia perbankan, khususnya bank syariah diketahui bahwa konsep dasar atau pokok dalam perbankan syariah ialah konsep pembagian (sharing), baik keuntungan maupun kerugian (profit and loss sharing). Prinsip yang umum adalah siapa yang ingin mendapatkan hasil dari tabungannya, harus juga bersedia mengambil risiko. Bank syariah akan membagi juga kerugian perusahaan jika mereka menginginkan perolehan hasil dari modal mereka. Hal ini selaras dengan kaidah fiqh khusus di bidang mu’amalah atau transaksi yang berbunyi: “hasil usaha muncul bersama biaya/hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian” atau al kharāj bi al dhomān dan “profit muncul bersama risiko/risiko itu menyertai manfaat” atau al ghunmu bi al ghurmi.
Konsep inilah yang semestinya menjadi produk unggulan perbankan syari’ah. Karena dengan sistem bagi-hasil, perbankan syari’ah dalam mengambil keuntungannya diharapkan tidak terjebak pada pola suku bunga yang ditetapkan oleh pemerintah, akan tetapi mereka akan mampu mendapatkan hasil yang kompetitif ketika kinerja mitra (nasabah) semakin meningkat.
Namun demikian pada realitanya, pembiayaan mudhārabah dan musyārakah dengan konsep bagi hasil serta bagi rugi (profit and loss sharing) sampai saat ini merupakan pembiayaan yang jarang dipraktekan atau diterapkan pada perbankan syari’ah. Justru sebaliknya, realita empirik menunjukan pembiayaan murābahah malah menjadi produk unggulan yang dominan diimplementasikan dalam perbankan syariah. Mau tidak mau, kritik yang membangun ini harus diterima secara lapang dada oleh semua pihak guna kebaikan serta kemaslahatan perbankan syariah.
Padahal konsep al kharāj bi al dhomān dan al ghunmu bi al ghurmi dalam perbankan syariah melalui produk pembiayaan mudhārabah dan musyārakah dengan konsep profit and loss sharing, seyogyanya dapat menjadi salah satu perbedaan mendasar antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional, sebab perbankan syariah selain tujuan komersil juga mempunyai sasaran untuk tercapainya kesejahteraan sosial serta kemaslahatan menyeluruh bagi masyarakat.

B. Definisi al Kharāj bi al Dhomān

Dasar kaidah “hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian” (al kharāj bi al dhomān) ialah Hadits Nabi yang artinya:
“Bahwa seorang laki-laki menjual seorang budak,maka budak itu bermukim di tempat pembeli dalam beberapa hari kemudian si pembeli mendapatkan cacat pada budak tersebut dan melaporkan kepada Nabi SAW, maka Nabi mengembalikan budak itu kepada laki-laki yang menjual.Maka berkatalah laki-laki itu:” Wahai Rasulullah,ia (pembeli) telah mempekerjakan (mengambil manfaat) terhadap budakku”. Rasulullah bersabda: ” Hak mendapatkan hasil itu disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”.
Menurut perspektif Abu Ubaid, yang dimaksud dengan al kharāj dalam hadits ini adalah: pekerjaan hamba yang telah dibeli seseorang, yang kemudian orang tersebut menyuruh supaya hamba itu bekerja untuknya kalau waktu tertentu. Setelah itu diketahui adanya cacat yang disembunyikan oleh si penjual, kemudian ia kembalikan kepada penjual tersebut, dengan diambil seluruh uang harganya dan ia telah mendapatkan keuntungan mempekerjakan hamba itu, karena ia telah memberikan pembelanjaannya, dan apabila ada kerugian maka ia yang rugi.
Jadi al kharāj ialah segala apa yang keluar dari sesuatu, baik berupa pekerjaan, manfaat maupun benda-benda seperti buah dari pohon, susu dari kambing dan sebagainya, dan kesemuanya adalah menjadi milik dari yang menanggungnya, sebab kalau ada kerugian, maka ia pula yang menanggungnya.
Hadits ini adalah termasuk sebagian dari ”Jawami’ul Kalim”, yakni: kalimat yang ringkas tetapi artinya luas.
Sedangkan menurut A. Djazuli, arti asal al kharāj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al dhomān adalah ganti rugi. Etimologi ini juga tidak berbeda dengan etimologi yang dijelaskan oleh Umar Abdullah al-Kamil.
Contoh dalam kitab fiqih klasik, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tersebut. Karena penggunaan binatang itu sudah menjadi hak pembeli. Contoh lain yang relevan sekarang ini ialah garansi pada alat-alat elektronik.
Kaidah al kharāj bi al dhomān dalam banyak literatur selalu bersandingan dengan kaedah al ghunmu bi al ghurmi yang bermakna: profit muncul bersama risiko atau risiko itu menyertai manfaat. Maksud dari kaidah al ghunmu bi al ghurmi ialah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung risiko. Sedangkan menurut Umar Abdullah al-Kamil, makna yang tersirat dari kaidah ini adalah bahwa barang siapa yang memperoleh manfaat dari sesuatu yang dimanfaatkannya maka ia harus bertanggung jawab atas dhoror atau ghurmu sertadhomān yang akan terjadi. Misal, biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhoan dari penjual untuk ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang, maka ia wajib mengembalikannya dan risiko biaya-biaya pengembaliannya.

C. Implementasi Konsep al Ghunmu bi al Ghurmi dalam Pembiayaan Mudhārabahdan Musyārakah pada Perbankan Syariah

Perkembangan ekonomi Islam identik dengan berkembangnya Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Salah satu filosofi dasar ajaran Islam dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, yaitu larangan untuk berbuat curang dan dzalim. Semua transaksi yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah berdasarkan prinsip rela sama rela (‘an tarādhin minkum), dan tidak bolehada pihak yang menzalimi atau dizalimi. Prinsip dasar ini mempunyai implikasi yangsangat luas dalam bidang ekonomi dan bisnis, termasuk dalam praktek perbankan. Salah satu kritik Islam terhadap praktek perbankan konvensional adalah dilanggarnya prinsip al kharāj bi al dhamān(hasil usaha muncul bersama biaya) dan prinsip al ghunmu bi al ghurmi (profit muncul bersama resiko). Dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan dan giro, bank konvensional memberikan pinjaman dengan mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukanterlebih dahulu di awal transaksi (fixed and predetermined rate). Sedangkan nasabah yangmendapatkan pinjaman tidak mendapatkan keuntungan yang fixedand predetermined juga, karena dalam bisnis selalu ada kemungkinan rugi, impas atau untung yang besarnya tidak dapat ditentukan dari awal.
Oleh karenanya mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakantindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, karena itu diharamkan. Di sini bank konvensional menuntut mendapatkan untung yang fixed and predetermined tetapi menolak untuk menanggung risikonya (al ghunmu bi lā ghurmi / againing return without being responsible for any risk). Bank konvensional mengharapkan hasil usaha, tetapi tidak bersedia menanggung biayanya (al kharāj bi lā dhamān / gaining income without being responsible for any expenses). Padahal prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip dasar dalam teori keuangan, yakni prinsip bahwa return/profit selalu beriringan dengan risiko (return goes along with risk).
Sebagai sebuah alternatif, Lembaga Keuangan Syariah termasuk perbankan syariah telah memformulasikan sistem interaksi kerja yang dapat menghindari aspek-aspek negatif dari sistem kerja bank konvensional, yaitu dengan menerapkan beberapa sistem, dimana harus diciptakan bank (lembaga keuangan) syariah yang tidak bekerja atas dasar bunga melainkan atas sistem bagi hasil, antara lain yang dikenal dalam fiqh mu’amalah sebagai transaksimudhārabah atau qirādh dan musyārakah.
Secara etimologi kata mudārabah berasal dari kata dharb. Dalam bahasa Arab, kata ini termasuk di antara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya; memukul, berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar, berubah, mencampur, berjalan, dan lain sebagainya. Perubahan makna tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya. Namun dibalik keluwesan kata ini dapat ditarik benang merah yang dapat merepresentasikan keragaman makna yang ditimbulkannya, yaitu bergeraknya sesuatu kepada sesuatu yang lain.
Secara umum para fuqaha mendefinisikan mudhārabah sebagai penyerahan sejumlah modal tertentu dari seorang sāhib al māl (penyandang dana) kepada mudarib (pengusaha) agar uang tersebut dapat dikelola dan jika ada keuntungan dibagi secarabersama-sama berdasarkan kesepakatan dan jika terjadi kerugian maka ditanggung uangmodal itu oleh sāhibal māl dengan syarat-syarat tertentu.
Menurut Fatwa MUI (2000) bahwa, mudārabah yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua belah pihak di mana pihak pertama (malik, sāhib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudārib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha bagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Dari beberapa uraian di atas, dapat di tarik garis lurus, bahwa mudārabah adalah suatu akad yang memuat penyerahan modal atau semaknanya dalam jumlah, jenis dan katakter tertentu dari seorang pemilik modal (sāhib al-mal) kepada pengelola (mudārib) untuk dipergunakan sebagai sebuah usaha dengan ketentuan jika usaha tersebut mendatangkan hasil maka hasil (laba) tersebut dibagi berdua berdasarkan kesepakatan sebelumnya, sementara jika usaha tersebut tidak mendatangkan hasil atau bangkrut maka kerugian materi sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal dengan syarat dan rukun-rukun tertentu.
Secara teknis mudārabah merupakan kontrak yang melibatkan antara dua kelompok, yaitu pemilik modal (investor) yang mempercayakan modalnya kepada pengelola (mudārib) untuk digunakan dalam aktivitas perdagangan. Mudārib dalam hal ini memberikan kontribusi pekerjaan, waktu, dan mengelola usahanya sesuai dengan ketentuan yang dicapai dalam kontrak, salah satunya adalah untuk mencapai keuntungan (profit) yang dibagi antara pihakinvestor dan mudārib berdasarkan proporsi yang telah disetujui bersama. Demikian juga sebaliknya, apabila terjadi kerugian yang menanggung adalah pihak investor dan mudārib, karena profit atau laba serta kerugian dibagi serta ditanggungg bersama. Hal ini sejalan dengan maksud konsep kaidah al kharāj bi al dhomān dan al ghunmu bi al ghurmi.
Adapun nisbah keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak. Salah satu pihak tidak diperkenankan mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi kepada pihak yang lain. Selain itu proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada waktu berkontrak, dan proporsi tersebut harus dari keuntungan. Dalam kajian hukum mu’amalah, masalah akad (‘aqd) atau perjanjian menempatiposisi sentral, karena ia merupakan cara paling penting yang digunakan untuk memperolehsuatu maksud, terutama yang berkenaan dengan harta atau manfaat sesuatu secara sah.
Didalam akad atau perjanjian terdapat pernyataan atas suatu keinginan positif dari salah satu pihak yang terlibat dan diterima oleh pihak lainnya, yang menimbulkan akibat hukum pada obyek perjanjian. Kesepakatan atau akad adalah salah satu bentuk perbuatan hukum atau disebut dengan tasharruf.
Suatu tindakan dapat disebut sebagai akad atau perjanjian jika memenuhi beberapa rukun dan syarat. Rukun akad adalah unsur mutlak yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad. Jika salah satu rukun tidak ada secara syariah akad dipandang tidak pernah ada. Sedangkan syarat adalah suatu sifat yang mesti ada pada setiap rukun, tetapi bukan merupakan esensi akad. Seperti yang dimaksud dalam kaidah fiqh berikut ini:
القصود في العقود معتبرة
Sehingga, dalam menjalin beberapa ketentuan transaksi antara LKS dan nasabah, sistemmudārabah dan musyārakah telah mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan mekanisme kesepakatan (akad) pembiayaan mudārabah dan musyārakah dan mekanisme pelaksanaan bagi hasil sesuai dengan kebijakan LKS-nya masing-masing.
Pada dasarnya, implementasi konsep kaidah al kharāj bi al dhomān dan al ghunmu bi al ghurmi dalam pembiayaan mudārabah tidak jauh berbeda dengan pembiayaanmusyārakah pada perbankan syariah.
Mengingat definisi etimologi musyārakah berasal dari kata syirkah yang berarti percampuran. Menurut para fuqahā musyārakah berarti: “akad antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan”. Sedangkan secara terminology menurut Fatwa DSN NO: 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyārakah yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Letak perbedaan mendasar antara mudārabah dengan musyārakah ialah bahwa pada akadmudārabah lebih menekankan kerjasama mitra usaha dan investasi dan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari shāhibul māl dan keahlian atau skill dari mudhārib. Sedangkan pada akad musyārakah lebih mengedepankan kerjasama modal usaha antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, tentunya baik pada akad mudārabah maupun pada akad musyārakah memprhatikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Namun pada prakteknya, pembiayaan mudārabah dan musyārakah pada perbankan syariah hanya terdapat dan sering diaplikasikan serta dijumpai pada produk simpanan atau tabungan (penghimpunan dana/funding), sebab lebih simpel dan sederhana jika ditinjau dari segi pengelolaan dan operasionalnya. Jika akad mudārabah diaplikasikan dalam pembiayaan, dapat dipastikan pembiayaan mudārabah sangat jarang ditemukan dikarenakan tingkatghurmu-nya yang sangat tinggi, padahal jika usahanya meraih sukses maka secara otomatis tingkat ghunmu-nya juga tinggi. Maka, seharusnya produk ini bisa menjadi produk unggulan/andalan dan harus paling dominan pada perbankan syariah sebagai bank yang selalu menjunjung tinggi jargon “bagi-hasil” dengan branding “syariah” yang kerap diidentikkan dengan agama Islam itu sendiri, dan bank yang sering kali memprioritaskan prinsip keadilan (‘adl) dan pelarangan dharar bagi semua pihak dalam bermu’amalah. Sebagaimana termaktub dalam kaidah fiqih:

الأصل هو العدل في كل المعاملات ومراعاة الطرفين ورفع الضرر عنهما

D. Al Ghurmu pada Pembiayaan Mudhārabah dan Musyārakah

Selanjutnya, oleh karena konsep kaidah al kharaj bi al dhoman dan al ghunmu bi al ghurmi.Tentunya, pembiayaan mudhārabah dan musyārakah pada perbankan syariah rentan akan risiko-risiko, bahkan faktor inilah yang mengakibatkan tidak banyak dari perbankan syariah yang enggan (belum minat) untuk melaksanakan pembiayaan mudhārabah dan musyārakah.
Pembiayaan mudhārabah dan musyārakah memiliki beberapa risiko (ghurmu) yang harus dikendalikan dengan manajemen risiko pembiayaan mudārabah dan musyārakah, risiko pembiayaan mudārabah dan musyārakah dibagi menjadi dua jenis yaitu:
1. Risiko Bisnis (Business Risk)
Yaitu risiko yang ditimbulkan dari aktifitas bisnis itu sendiri. jika untung, pembagian berdasarkan nisbah, sedagkan kalau rugi pembagian berdasarkan proporsi modal. Jika bisnis rugi, maka sesungguhnya mudārib akan menanggung kerugian. Bila yang dikontribusikan adalah uang, maka risikonya adalah hilangnya uang tersebut, sedangkan bila yang dikontribusikan adalah kerja, maka risiko adalah hilangnya kerja, usaha dan waktunya dengan tidak mendapatkan hasil apapun atas jerih payahnya dalam bisnis.
2. Risiko Karakter (Character Risk)
Bila kerugian terjadi karena buruk mudārib, misalnya karena mudārib lalai dan/atau melanggar persyaratan - persyaratan kontrak mudārabah dan musyārakah, maka sāhib al-māl tidak perlu menanggung kerugian.
Risiko yang terdapat dalam mudārabah dan musyārakah, terutama dalam penerapannya dalam pembiayaan relatif tinggi. Dia antaranya:
• Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak.
• Lalai dan kesalahan yang disengaja.
• Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.[26]
Sedangkan risiko pembiayaan mudārabah antara lain:
• Nasabah yang tidak amanah (tidak jujur).
• Pelaporan keuangan tidak sesuai dengan kenyataan (manipulasi laporan).
• Nasabah tidak memakai dana sebagaimana kesepakatan dalam kontrak perjanjian.
• Kecerobohan dan kesalahan yang disengaja oleh nasabah.
• Nasabah tidak mampu menjaga serta mengelola kondisi keuangan sesuai dengan cara-cara usaha yang sehat dan hati-hati.
• Karakter nasabah tidak baik.
• Tidak ada pembukuan yang jelas (biasanya pada pengusaha kecil).

Risiko-risiko pembiayaan mudārabah dan musyārakah di atas, bukan untuk dihindari melainkan harus dihadapi dan dikendalikan, karena memang semua pembiayaan yang ada dalam perbankan memiliki tingkat risiko yang berbeda-beda sesuai dengan jumlah nominal, waktu, tempat dan kondisi. Kalau bank tidak mampu mengantisipasi, mengatasi dan mengendalikannya, maka akan berakibat pada sektor pendapata dan kepercayaan terhadap bank berkurang. Untuk mengantisipasi kondisi serta penilaian masyarakat terhadap bank (lembaga keuangan) yang negatif (tidak sehat), maka sangat penting adanay pengendalian risiko sehingga kepercayaan masyarakat, nasabah serta pemerintah bertanbah baik dan akan berpengaruh terhadap sektor pendapatan bank meningkat sesuai dengan perencaan standar koefisien pendapatan yang diharapak yaitu bagi hasil. Usaha untuk meminimalisasi risiko dapat digunakan alat-alat analisa calon nasabah yang biasa digunakan dalam perbankan baik secara umum maupun khusus, yaitu menggunakan prinsip-prinsip seperti: 5C dan 3R.
1. Capital (modal/kekayaan)
Modal adalah salah satu yang menjadi penilaian oleh pihak bank (sāhibul al-mal) dalam menganalisis sebuah pembiayaan modal merupakan kebutuhan utama dalam mendirikan sebuah usaha atau sebagai sumber pembiayaan pertama.
2. Collateral (barang jaminan/anggunan)
Barang jaminan merupakan hal yang penting dalam pelaksaan pembiayaan termasukmudārabah karena dengan adanya jaminan selain menjaga keamanan atas pembiayaan yang akan memotivasi nasabah untuk tetap rajin dan tidak lalai atas kewajibannya dalam melunasi pembiayaan yang dilakukan.
3. Capacity (kemampuan utnuk membayar hutang)
Kemampuan nasabah dalam mengelola dan menangani usaha serta modal kerja yang ia miliki tentunya sangat perlu dalam menjalankan usaha yang ia lakukan tersebut tentunya memerlukan modal dan juga dana pihak ketiga termasuk bank, jika nasabah tidak mampu mengelola usahanya maka disinilah bank harus melihat seberapa besar kemampuan nasabah dalam mengembalikan pinjaman yang ia lakukan baik dari segi pinjaman maupun jaminan.


4. Condition (kondisi/lingkungan)
Penilaian yang dilakukan disini berkenaan dengan bagaimana prospek kegiatan usaha yang dimiliki oleh si pemohon pembiayaan/nasabah apakah berisiko tinggi atau tidak, juga apakah usaha yang dilakukan tersebut tidak mengganggu lingkungan sekitarnya.

5. Character (watak/sifat)
Berbicara tentang karakter atau sifat di sini pihak bank tenntunya tidak akan mau mengambil risiko, maka dalam hal ini bank akan melakukan penelitian atau penjajakan atas pemohon/nasabah, apakah nasabah memiliki perilaku dan akhlak yang baik atau tidak, serta mengadakan hubungan yang baik dengan orang sekitarnya termasuk keluarga dan masyarakat.

Prinsip lain yang harus dilakukan oleh pihak bank dalam melakukan pembiayan terhadap nasabah antara lain 3R, yaitu:
1. Return Principle
Pihak bank harus menilai tentang pembiayaan yang dilakukan bank akan menghasilkan laba dan juga kemampuan nasabah dalam mengembalikan pinjaman atas pembiayaan tersebut.
2. Payment Capacity
Hal ini berkaitan dengan kemampuan nasabah atas pihak pemohon pembiayan dalam mengembalikan pinjaman pembiayaan dengan tepat waktu.
3. Risk Breaking
Bank juga harus dapat mengetahui tingkat kemungkinan risiko yang akan dihadapinya jika melakukan suatu pembiayaan tertentu.
Tidak semua alat analisis atau prinsip-prinsip di atas dapat diterapkan semuanya, namun setidaknya banyak hal yang menjadi perhatian dan pertimbangan bank sebelum memutuskan suatu pembiayaan. Selain prinsip-prinsip di atas tadi untuk mengetahui seberapa dalam penelitian atau analisis data tersebut ditentukan pula melalui hal-hal sebagai berikut:
1. Jumlah kredit yang akan diberikan. Semakin besar jumlah kredt yang akan diberikan, semakin besar pula risikonya. Karena itulah, makin besar pembiayaan yang diminta makin tinggi pula kehati-hatian dalam menganalisis data yang ada.
2. Jangka waktu kredit. Semakin lama jangka waktunya, maka tingkat resiko kredit tersebut akan lebih tingi pula, dan semakin tinggi risiko bank akan makin berhati-hati dalam penyaluran dana tersebut.
3. Jaminan yang disediakan. Jika nilai jaminan yang disediakan untuk calon nasabah lebih tinggi dari pada bearnya pembiayaan yang diajukan, maka pihak bank akan lebih mudah dalam melakukan analisa.
4. Reputasi debitur. Makin baik reputasi calon nasabah, maka bank akan lenih mudah dalam memberikan permohonan pembiayaan (kredit).
5. Hubungannya dengan baik. Hubungan ini dapat berupa pembukuan tabungan, gaji atau pernah menjadi nasabah dalam suatu pembiayaan. Jika bank telah atau pernah mengenal calon debiturnya, biasanya ini akan lebih mempermudah proses analisa kelayakan usaha yang diajukan.
E. Derivasi Kaidah al Kharāj bi al Dhomān wa al Ghunmu bi al Ghurmi

Di bawah ini terdapat beberapa derivasi kaidah al kharāj bi al dhomān wa al Ghunmu bi al Ghurmi yang dapat dirinci sebagai berikut, yaitu:
1. Al ajru wa al dhomān lā yajtami’āni
“Pemberian upah dan tanggungjawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan”
Yang disebut dengan dhomān atau ganti rugi dengan kaidah tersebut adalah mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran.
Contoh, seseorang penyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat.Maka, si penyewa harus mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya.

2. Idā bathala as syai’u bathala mā fiy dhamnihi
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”
Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi.Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya.

3. Al jawāzu as syar’i yunāfiy al dhamān
“Suatu hal dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A menggali sumur ditempat miliknya sendiri.Kemudian binatang tetangganya jatuh ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali sumur ditempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.

4. Al mubāsyir dhāminun wa in lam yata’ammad
“Yang berbuat langsung bertanggung jawab meskipun tidak disengaja”
Contohnya seperti orang tergelincir kemudian orang lain tertimpa olehnya sehingga menyebabkan luka. Orang yang tergelincir itu harus bertanggung jawab karena kelalaian atau ketidak hati-hatiannya. Misal lain sopir menabrak seseorang karena ketidak hati-hatiannya.

5. Al mutasabbibu lā yadhmanu illā bi at ta’ammudi
“Pelaku tidak langsung tidak bertanggung jawab kecuali disertai kesengajaan”
Contohnya: si A mengejar si B, kemudian si B menabrak si C. Si A tidak bertanggung jawab atas terlukanya si C, kecuali si A dengan sengaja mengarahkan si B ke si C, agar si C tertabrak.

6. Kullu mā shahha ar rahnu bihi shahha dhamānuhu
“Setiap yang digadaikan, sah pula dijadikan jaminan”

7. Ajruka ‘alā qadri nashbika (HR. Muslim)
“Pahalamu adalah berdasarkan kadar usahamu”.
Maksud utama dari hadits di atas ialah untuk semua amal kebaikan, apabila ia semakin banyak diamalkan maka semakin bertambah pula fadhilahnya.
Hadits tersebut jika diambil benang merahnya dengan kaidah al kharāj bi al dhomān wa al ghunmu bi al ghurmi, maka akan muncul kaidah baru yang berbunyi hasil usaha sesuai dengan kadar biaya yang telah dikeluarkan dan keuntungan yang didapat berdasarkan kadar risiko yang dihadapi. ini juga sesuai dengan keidah:
An ni’matu bi qadri an nuqmati wa an nuqmatu bi qadri an ni’mati
“Kenikmatan yang diraih berdasarkan kadar kesulitannya, dan kesulitan yang dihadapi berdasarkan kadar kenikmatan yang akan diraih”


F. Penutup
Perbankan syariah memiliki posisi unik dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading) melalui akad jual beli. Tetapi sayangnya, keunikan tersebut dominan diaplikasikan dalam perbankan syariah. Padahal ada hal lain yang lebih urgent yaitukhitthoh pebankan syariah sebagai bank bagi hasil, bukan hanya dalam penghimpunan dana akan tetapi juga pembiayaan, yang justru banyak diakses serta dibutuhkan oleh kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Pembiayaan yang masyhur bersifat bagi hasil serta bagi rugi pada perbankan syariah ada dua, yaitu pembiayaan mudhārabah dan musyārakah. Dimana mudhārabah dan musyārakah dalamliterature fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (‘uqud al amānah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjujung keadilan. Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama, dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk tidak melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan, sebab akan merusak ajaran Islam dan menimbulkan image yang negatif.
Oleh karena pembiayaan mudhārabah dan musyārakah itu basiknya ‘uqud al amānah, maka semua pihak yang terkait harus benar-banar mempunyai sifat amanah dan bertanggung jawab. Tidak heran jika dua pembiayaan ini sangat sulit diterapkan, melihat ghurmu dan dhamān-nya juga sangat tinggi dan rentan akan wan prestasi, padahal jika ini diaplikasikan dalam perbankan syariah ghunmu dan kharāj-nya juga akan lebih besar dan akan menjadikan pembeda yang signifikan dengan perbankan konvensional, dibandingkan dengan pembeda-pembeda lainnya yang dikira sudah workable.
Pepatah ekonom dahulu mengatakan “modal sedikit untung sebesar-besarnya”, statment ini agaknya sudah kurang relevan lagi dengan konteks dewasa ini. Karena proporsi besar dan kecinya modal juga menentukan porsi ghunmu atau kharāj dan ghurmu atau dhamān yang akan diraih serta dihadapi. Islam memiliki solusi dan way out yang lebih arif dan sangat relevan melalui kaidah fiqih yang berbunyi: “untung muncul bersama risiko dan hasil usaha muncul bersama biaya” (al ghunmu bi al ghurmi wa al kharāj bi al dhamān). Akan lebih baik lagi apabila kaidah ini diimplementasikan pada pembiayaan mudhārabah dan musyārakah di perbankan syariah.







Rujukan

Karim, Adiwarman A. 2003. Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta, IIIT Indonesia

http://hendrihermawanadinugraha.wordpress.com/2012/03/26/implementasi-kaidah-al-ghunmu-bi-al-ghurmi-wa-al-kharaj-bi-al-dhaman-dalam-pembiayaan-mudharabah-dan-musyarakah-pada-perbankan-syariah/
http://wikusuryomurti.com/konsep-risiko-dalam-islam/
http://iaei-pusat.org/article_detail.php?article=12

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1079:enam-pilar-perekonomian-modern-yang-islami&catid=8:kajian-ekonomi&Itemid=60

Penulis : Unknown ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel AL KHARĀJ BI AL DHAMĀN ini dipublish oleh Unknown pada hari Kamis, 16 Mei 2013. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 2 komentar: di postingan AL KHARĀJ BI AL DHAMĀN
 

2 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus
  2. kharaj dhamman ni boleh aplikasi pada spekulasi saham tak ?

    BalasHapus